Selamat Datang - DI Blog KATA BINTANG, tempat berproses dan berproduksi serta saling berbagi. Tempat yang nyaman dan saling menguatkan. Tempat para Bintang Memijar.

Opor Buatan Emak

by Mabrurotin Hamid



Azan Isya' baru saja berkumandang. Membelah gelap yang mulai melingkupi alam. Angin dingin cukup kencang bertiup, menggoyang dedaunan di halaman rumah, dalam redup pancaran lampu lima Watt yang bersinar malas dari teras sempit rumah kecil kami. Sayup-sayup sampai, takbir bergema dari satu-satunya Masjid di tengah kampung.

Masa seakan cepat berputar, tak terasa telah dilewati, sebulan lamanya berpuasa menahan diri dari banyak hal-hal tak baik. Entah bagaimana dengan puasaku. Hanya sebatas puasa perutkah?

"Le ..., tolong kau cicipi rasa opor ini, takut keasinan. Jangan sampai bapakmu tak memakannya," suara emak nyaring terdengar memanggil dari dapur, lengkap dengan gerutuannya. Bosan. Itu yang sebenarnya kurasakan, tapi aku khawatir kualat jika memakai kata itu. Ini lebaran ketujuh kami berlebaran tanpa bapak. Susah payah kuyakinkan emak agar memupuskan harapannya untuk makan opor ayam saat lebaran bersama bapak. Sampai detik ini, usahaku belum membuahkan hasil.




Kuhela nafas, membuang sesak yang memenuhi rongga dada, lalu menyesap udara malam yang terus merayap dalam dingin. Nestapa, dalam cahaya redup kutatap wajah tua emak yang terus bertambah kisut dari waktu ke waktu. Di atas lincak bambu, sepanci sedang opor ayam baru saja diangkat dari atas tungku. Kepul tipis menari-nari di atas kuah yang berminyak, legit oleh santan. Aromanya yang khas menggelitik indera penciumanku, kubayangkan gurih kuah santannya yang berminyak.

Sejak kemarin, emak mewanti-wanti agar tak salah menangkap ayam kami. Pilih yang besar dan gemuk, dagingnya harus tebal, sehingga puas bapak saat menyantapnya, demikian titah emak. Bapak akan menghabiskan opor buatan emak dengan beberapa buah ketupat seperti biasanya. Sementara di dekatnya, emak makan sambil tersenyum. Menyaksikan suami tercinta makan dengan lahap. Semua adegan itu terekam utuh dalam ingatan. Bapak akan meletakkan hati ayam dan sepotong paha ayam di atas piringku.

"Ayo, Le, makan yang banyak, biar cepat besar," suruh bapak yang membuatku mantap mengangguk. Sesuap demi sesuap makanan di atas piring masuk ke dalam perut. Usai makan, selinting rokok kawung akan dihabiskan bapak. Kami lalu keluar rumah, berjalan bersisian menuju Masjid untuk bergabung dengan warga desa lainnya. Menggemakan Takbir hingga tengah malam tiba. Lebih tepatnya, para orangtua yang Takbiran, sedang kami, segenap anak kecil akan bermain gobak sodor atau petak umpet di samping Masjid, sebuah tanah lapang yang jika siang kami tempati bermain bola. Sayangnya bulan masihlah seiris tipis. Sehingga hanya tempias pencahayaan dari lampu Masjid yang menerangi tempat itu.

Ah, bapak. Tak habis masaku demi mengingat semua tentangmu. Melihatku yang masih berdiri di pintu dapur, emak menoleh sekilas. Sebelum emak kembali merepet, aku mendekat, membawa senyum di bibir, senyum yang sama selama tujuh tahun terakhir. Aku tak ingin emak kecewa.

"Hmm ... Ini enak sekali, Mak, bapak pasti menyukainya," selalu, itu saja kalimat yang kuulang setiap tahun. Tetiba aku miskin kata-kata di hadapan opor itu. Rasa sedih yang sama terus pula terulang. Kuhindari pandangan emak yang berbinar. Emak tak akan tahu jika kedua mataku mulai berembun. Kuhampiri tubuh tua itu. Telapak tangannya hangat, tenggelam dalam genggam erat kedua tanganku. "Mak, Tole ke masjid dulu, ya. Mau Takbiran." setetes air mataku jatuh di atas keriput kulit tangannya. Segera kuseret langkah kakiku yang pincang. Aku selamat dari kecelakaan itu. Peristiwa tragis 7 tahun lalu, yang telah memisahkan kami dan bapak, sehari sebelum lebaran, sepulang kami dari pasar Kecamatan. Dalam erat tanganku, kemeja lengan bermotif garis putih-biru yang baru kami beli terpercik darah bapak.



Karduluk-Sumenep, 26 April 2023



0 Komentar