Oleh Arif Setiawan (Yeyep, Kadesnicis.com)
Tradisi atau kebiasaan adalah sebuah bentuk perbuatan yang dilakukan berulang dengan cara yang sama (Atik Catur Budiati, sosiologi kontekstual, 2009). Kata Tradisi diambil dari bahasa latin yaitu tradere yang bermakna meneruskan dari satu tangan ke tangan lain untuk dilestarikan.
Menurut Thomas A. Green dalam bukunya Folklore : an
encyclopedia of beliefs, customs, tales, music, and art bahwa tradisi dikenal
sebagai suatu bentuk kebiasaan yang memiliki rangkaian peristiwa sejarah kuno.
Setiap tradisi dikembangkan untuk beberapa tujuan, seperti tujuan politis atau
tujuan budaya dalam beberapa masa.
Remoh bagi masyarakat madura adalah sebuah acara yang
dikemas dengan tujuan mengumpulkan sanak famili, kerabat, keluarga, dan juga tetangga
sekitar. Acara remoh sendiri
secara primordial menjadi acara yang memiliki nilai sosial yang tinggi karena
pada momen tersebut ada pertaruhan besar bagi si penyelenggara maupun tamu
undangan (adu gengsi). Sedangkan to’oto’ lebih identik kepada materi atau yang
lebih mengedepankan transaksi ekonomi sebagai tujuannya. Misalkan acara remoh to’oto’ pernikahan.
Maksud
dari acara tersebut adalah untuk mengumpulkan para sanak family, kerabat, dan
tetangga sekitar agar si penyelenggara tersebut mendapatkan materi yang telah
dikeluarkan pada saat para sanak family, kerabat, dan tetangga mengadakan acara
pernikahan sebelumnya atau yang dikenal dengan “agubu”. Uniknya, pada acara
remoh to’oto’ pernikahan tersebut tidak ada mempelai yang duduk di pelaminan. Bahkan
si mempelai sudah melangsungkan pernikahan beberapa tahun yang lalu hanya saja
dikemas seperti pesta perkawinan.
Biasanya yang mengadakan acara Remoh To'-oto' ini adalah pihak
dari mempelai laki-laki. Sebelum
acara ini digelar, ada juga yang namanya ‘ngin-tangngin’ atau begadang semalam
suntuk, mengkhatamkan Alquran yang bertujuan agar acara dapat terlaksana dengan
lancar. Menurut masyarakat di sekitar yang menyelenggarakan acara
to’oto’ ini, bahwa kata to’-oto’ berasal dari kata ato’-koto’ (berbisik-bisik)
jadi tanpa adanya undangan yang disebarkan hanya dari mulut ke mulut bahwa si
anu akan mengadakan remoh to’oto’ maka para sanak family, kerabat, dan tetangga
sekitar sudah mengerti apa yang harus dilakukan.
Camilannya
juga harus ada oto’ (kacang tanah) dengan olahannya yang beragam sebagai simbol
bahwa acara ini dibuat sesederhana mungkin seperti bentuk kacang tanah yang
kecil dan bisa dibuat olahan berbagai macam nama. Remoh to’oto’ ini masih banyak
dilakukan di pedesaan daerah Bangkalan
Madura. Seperti yang ditulis oleh Serafica Gischa dalam artikel dengan judul
Perbedaan Hukum Kebiasaan dan Hukum Adat yang telah tayang di kompas.com
tanggal 13 Desember 2019 bahwa "Jika kebiasaan sudah diterima oleh
masyarakat dan dilakukan secara berulang, maka segala tindakan yang
bertentangan dengan kebiasaan akan dirasakan sebagai perbuatan yang melanggar
hukum."
Begitu juga dengan Tradisi remoh To’-oto’ ini yang menurut
pendapat saya pribadi bisa bermanfaat untuk keluarga yang mengadakan acara,
selain bisa mengembalikan pemberian yang telah keluar, juga bisa mempererat
tali silaturahmi yang terpecah dikarenakan kesibukan kita. Akhirnya, biarlah
tradisi dilestarikan, agar dikemudian hari anak cucu kita tahu bahwa bangsa
kita memiliki beribu tradisi dan bagaimana nantinya kita harus bersikap dengan
adanya kebiasaan tersebut. salam
2 Komentar
Baru tau juga ada yang beginian. Terimakasih infonya suhu
BalasHapusKebhinekaan yang menjadikan kita kaya keragaman
BalasHapus