Sementara Karang yang diam-diam berhubungan dengan seorang pria
lain yang diakuinya sebagai dokter pribadinya pada setiap orang, suatu kali
terkena jebakan Mega. Karang yang tertangkap basah di sebuah kamar
hotel bersama dengan sang dokter kemudian disekap oleh orang-orang suruhan Chen
hingga akhirnya Karang mati setelah diceburkan hidup-hidup ke dalam
sumur di taman belakang yang disebut Sumur Kematian. Sumur untuk
menghukum para istri yang berselingkuh.
Teratai yang sangat peka dan cerdas diam-diam mengikuti proses
eksekusi Karang. Ketika Teratai benar-benar menyadari bahwa Karang
diceburkan ke dalam sumur dalam keadaan mulut dibekap dan seluruh tubuhnya
diikat tanpa daya, Teratai berteriak histeris.
Chen yang menyaksikan Teratai histeris karena melihat
pembunuhan terhadap Karang kemudian memutuskan bahwa Teratai
harus dianggap gila, tidak waras; untuk melindungi eksistensinya sebagai
seorang Tuan. Semua yang dikatakan Teratai tidak boleh dipercaya
oleh siapapun di dalam kompleks.
Di akhir kisah tragis ini, Karang mati, Teratai yang
divonis gila oleh seluruh kompleks tetap dipertahankan sebagai istri ketiga dan
tetap menjadi bagian dari kehidupan kompleks sekalipun telah dianggap invalid
karena ‘tidak waras’, dan akhirnya Chen kembali mengambil istri untuk
menggenapi jumlah istrinya. Bambu, istri keempatnya, penasaran melihat
penampilan Teratai yang cantik, bersih dan tetap kelihatan cerdas
sekalipun dikatakan gila oleh setiap orang.
Kisah poligami ini perlu untuk dibaca tak hanya oleh kaum wanita, tetapi
juga penting bagi kaum pria. Betapa kaum wanita tidak hanya dipermainkan cinta
dan kasih sayangnya tetapi juga belajar tipu daya untuk mempertahankan posisi
sebagai ‘yang tersayang’ bagi sang suami. Tak terkecuali istri pertama yang
jelas-jelas telah tersingkir oleh istri-istri berikutnya.
Poligami selalu memberikan luka dan nestapa bagi kaum wanita. Siapapun
pelakunya, apapun alasannya, terlepas dari perekat agama, bangsa maupun kasta.
Dalam ribuan kisah cinta bersegi ini, poligami bukanlah milik sebuah agama atau
bangsa, melainkan semata persoalan kaum pria dan wanita. Poligami perlu dibaca
sebagai sebuah model perkawinan yang menestapakan hidup dan hati kaum wanita.
Novel Raise The Red Lantern yang telah diterjemah dengan judul Persaingan Para Istri ini merupakan
novel legendaris karya Su Tong yang telah difilmkan dengan bintang utama Gong
Li. Lika-liku poligami di tengah masyarakat China.
Novel terbitan Serambi ini akan semakin menarik seandainya nama-nama dari
para istri dan pelayan tetap menggunakan nama China sesuai dalam novel asli
tanpa menerjemahkannya pula sebagai Sukacita, Mega, Karang dan Teratai
serta Bambu dan pelayan Walet. Kekentalan nuansa China akan
semakin terasa dalam alur ceritanya dengan tetap mempertahankan nama-nama China
mereka.
Novel ini menambah khazanah novel terjemahan yang turut menyemarakkan
bacaan sastra di tanah air. Dari novel-novel semacam ini pembaca dapat
mempelajari nila-nilai kehidupan serta
budaya manusia di belahan bumi lainnya. Berikut persoalan kemanusiaan
yang sangat kompleks. Khusus tentang poligami, di tanah air kita, kisah poligami
bukan semata kisah cinta bersegi dalam bungkus estetika sastra, melainkan fakta
yang tak kasat mata.
Jangan pernah berpikir bahwa realitas poligami semata hanyalah milik
komunitas muslim saja. Membaca konteks poligami, di belalahan bumi manapun,
fokuslah pada relasi perkawinan laki-laki dan perempuan, jangan pada agama yang
dianut mereka.
Poligami adalah pilihan personal, bukan intruksi budaya atau agama
manapun sekalipun memang tak dipungkiri bahwa pembolehan poligami dalam konteks
keagamaan (baca: Islam) memang ada. Sekali lagi, pahamilah poligami bukan
sebagai sunnah yang dimuakkadkan (sangat disarankan), tetapi
sebagai mubah (pembolehan) bersyarat. Dan syaratnya amat jelas digariskan
dalam kitab suci. Yaitu, jika engkau tak mampu bersikap adil (termasuk dalam
memberikan kasih sayang), cukupkan dirimu hanya dengan satu istri saja.
Bukankah begitu?
Jika kemudian segolongan laki-laki apologis menganggap ini sebagai sunnah,
sebagai cara ibadah menolong dan mengentaskan seorang perempuan dari garis
kemiskinan, pertanyaannya adalah; apakah menolong harus pulalah dengan
menikahi? Tidakkah itu hanya sebuah kamuflase birahi yang ditutup-tutupi?
Dalam konteks lainnya, poligami mungkin saja akan mendatangkan pahala dan
tidak memiliki keharaman sekalipun dalam banyak realitas selalu diawali dengan
perselingkuhan yang tentu saja tingkat keharamannya sudah sama-sama diketahui.
Bagaimana jika poligami yang mubah dan cenderung diklaim sebagai sunnah
Nabi ini menimbulkan penyengsaraan oleh laki-laki pada istri pertama dan
penelantaran hidup pada anak-anaknya dari istri pertamanya?
Poligami akhirnya mendatangkan suatu dosa kemanusiaan. Sesuatu yang halal
dan mubah tapi kemudian dalam perjalanannya menjadikan manusia bernama
laki-laki amat kuasa untuk menyengsarakan batin perempuan yang menjadi
tanggungjawabnya di hadapan Tuhan dan sesama manusia, yaitu istri pertama.
Dan tentu saja, para istri yang dipoligami ini, diinginkan atau tidak
akan berada dalam satu alur persaingan tak tercegah. Entah itu persaingan
mendapatkan perhatian dan kasih sayang maupun persaingan dalam mendapatkan aset
materi dari suaminya.
Jadi, masihkah Kau akan berpoligami, hai, para suami apologis?
Karduluk, 2023
Joe Mawar, penulis novel, penyair dan motivator. Bekerja sebagai aktivis sosial dan pemerhati poligami. Tinggal di dusun Blajud Karduluk.
0 Comments