By Liza Ulfa Maesura
Berbarengan dengan azan Ashar yang berkumandang di surau,
aku tiba di kamar kos yang selama ini menjadi tempatku beristirahat selama di
desa Senja. Sudah hampir sebulan aku di desa ini semenjak diangkat menjadi
guru. Meski jaraknya sangat jauh dan di pedalaman. Aku harus tetap menjalani
kewajiban ini. Beruntung ibu sangat mendukung aku. Beliau memberikan motivasi
untuk menjalaninya dahulu sekaligus mencari pengalaman di luar daerah
kelahiranku.
Benar kata Ibu, bahwa ada banyak adat yang berbeda di negara
ini. Mungkin hampir tiap desa memiliki adatnya masing-masing. Seperti di desa
ini juga yang bisa terbilang unik. Terutama kepercayaan terhadap hal takhayul
yang masih kental. Seperti pernah aku dimarahi karena menyapu di malam hari. Padahal
kupikir menyapu di malam hari bisa membuatku tidak tergesa-gesa nanti di pagi
hari. Ternyata tetangga bilang itu pamali, bisa mengundang setan. Aku yang
tidak percaya hal mistis seperti itu tentu saja tergelak dalam hati. Namun aku
tidak membantah sebab kata ibu di mana bumi dipijak di situlah langit dijunjung.
Di mana aku berada adab dan kesopanan serta penghormatan terhadap adat kebiasaan
di tempat itu harus aku hormati.
Setiap pulang aku langsung menanak nasi untuk makan malam.
Meskipun gaji dari pemerintah terbilang cukup. Aku harus berhemat untuk
persiapan menikah kelak. Berbeda dengan Roy, teman seangkatanku. Jam segini dia
pasti sudah di warung Mak Warni untuk membeli nasi bungkus yang akan disantap
malam nanti.
Kami berdua tinggal dalam satu kos. Meskipun kami memiliki
banyak perbedaan. Namun karena senasib kami menjadi seperti saudara. Perbedaan
pun bukan lagi masalah. Namun terkadang aku selalu mengingatkan agar Roy rajin
beribadah dan menghormati adat istiadat setempat. Sebab, walau bagaimanapun
kami ini hanya pendatang. Sementara Roy selalu meremehkan ucapanku mengenai hal
itu.
"Apa kau sudah menanak nasi?" Tiba-tiba Roy sudah
masuk dalam kamar.
"Sudah," jawabku sambil duduk bersandar ke dinding
melepas penat mengajar di SMA Senja.
"Kau tak perlu repot menggoreng telur. Aku sudah
membelikanmu ikan goreng Mak Warni yang enak," ucap Roy sambil menenteng
bungkusan.
Aku langsung menerimanya lalu ku gantung di paku yang
menempel di dinding. "Way, makan besar aku malam ini. Rejeki tak akan
kemana. Tapi jangan terlalu sering membelikanmu ikan. Kau harus menghemat
uangmu Roy," ucapku merasa tak enak.
"Alah, tenang aja. Aku dapat rejeki."
"Rejeki dari mana?" tanya ku penasaran.
"Rahasia. Nanti kau Embay pula."
"Maaf, aku tak minat. Mengurus anak-anak remaja itu
saja sudah puyeng kepalaku," ucapku sambil tertawa.
"Itu pun kau pikirkan." Roy tergelak. "Oh,
iya. Kudengar siswi bernama Santi itu suka padamu. Cantik Lo orangnya.
Bagaimana?" tanya Roy dengan serius.
"Mereka anak-anak didik aku, Roy."
"Kau ini masih saja kolot. Kau ini tampan, berwibawa,
gaji tetap. Orang sini mana yang tak mau sama kau," ucap Roy.
Aku hanya menggelengkan kepala. Roy tak pernah berubah.
Selalu meremehkan banyak hal. Selanjutnya kami sibuk bermain ponsel sambil
rebahan di bawah kipas. Waktu berputar begitu cepat. Terdengar suara orang
mengaji di surau. Kebiasaan penduduk satu jam sebelum Maghrib tiba.
"Astaga. Aku lupa sesuatu. Aku ada janji." Roy
bangkit memakai pakaian terburu-buru.
"Kau mau kemana, Roy? Ini sudah senja. Menurut
kepercayaan orang sini, tak baik kau keluar," aku mencoba mengingatkan.
"Kau ini orang berpendidikan. Bagaimana bisa kau
percaya hal takhayul seperti itu," protes Roy sambil memakai topi lalu
mengambil kunci motor.
Aku langsung mengejar Roy. "Ini bukan soal kita percaya
atau tidak. Sebaiknya kita hormati kepercayaan orang kampung sini."
"Oke. Aku percaya. Tapi aku tak mau melaksanakannya.
Puas!??" tanya Roy.
Kali ini aku tak bisa berkata-kata. Aku hanya bisa menatap
kepergian Roy yang perlahan menghilang di ujung jalan. Aku berharap Roy nanti
tiba setelah Maghrib. Sebab, dia belum makan. Tak lama kemudian Adzan Maghrib
berkumandang. Aku segera mengambil wudhu dan pergi ke surau yang tak begitu
jauh dari tempat kos. Kami biasa sholat berjemaah. Jamaah surau begitu penuh.
Sangat berbeda dengan mesjid besar di kota yang hanya diisi oleh beberapa jamaah.
![]() |
Tempat Roy Menghilang |
"Ke mana teman kamu? Tumben sendiri," sapa salah
satu warga.
"Dia sedang ada urusan." Jawabku sambil tersenyum.
"Kalau temannya si Pak Roy itu memang jarang ke masjid.
Beda dengan Pak Andi ini," ucap warga yang lain.
"Tidak, Pak. Kami sama hanya saja tadi temanku lupa ada
janji," ucapku lagi.
"Aku tadi lihat, Pak Roy buru-buru ke tepi hutan. Sudah
kularang pergi ke sana di waktu senja, tapi dia tak mendengarkan."
Warga mulai berdebat. Aku hanya bisa menarik napas panjang.
Entah mengapa perasaanku mendadak tidak nyaman. Aku yang biasanya masih
menunggu isya langsung pulang. Ku ambil handphone dan mencoba menghubungi Roy
namun tak tersambung. Aku semakin gelisah. Bahkan hingga jam sepuluh malam Roy
tidak juga datang. Sambil makan karena lapar kucoba hubungi kembali, namun Roy
kembali tidak terhubung. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Aku sudah merasa
lega karena mengira itu adalah Roy. Ternyata Bu Siska, janda kaya di kampung
sebelah.
"Ada apa ya, Bu Siska?" tanyaku. Aku tidak
mempersilahkannya masuk. Karena khawatir menjadi bahan gunjingan tetangga.
Tetapi beruntung Bu Siska tidak sendiri. Ia bersama wanita lain.
"Apa Pak Roy ada?" tanya Bu Siska. "Kami
sudah janjian sejak sore tapi sampai petang ini dia tidak datang. Katanya dia
mau menjualkan buah buahan saya ke pemasok," ucap Bu Siska.
"Apa?" Aku terkejut mendengar penuturan Bu Siska.
Segera kunjungi Roy kembali, tapi tetap tidak tersambung.
"Ada apa ya?" Pak RT yang kebetulan lewat menegur
kami. Aku segera menceritakan semuanya dan wajah Pak RT langsung pucat. Ia
langsung mengajakku ke kepala desa. Aku yang masih bingung dan tak tahu harus
bagaimana hanya mengikuti petunjuk kepala desa. Pentungan dipukul dimana-mana.
Kepala desa juga menghubungi polisi terdekat.
"Kamu yang sabar ya Pak Andi. Semoga teman kamu bisa
ditemukan," ucap kepala Desa.
Aku bingung dan tak tahu harus bilang apa. Seluruh warga
laki-laki sudah berkumpul mereka membawa senter dan pentungan. Sesuai saksi
yang melihat Roy, warga, kepala desa bahkan juga aparat kepolisian menyusuri
hutan. Tak lama kemudian sepeda Roy ditemukan. Aku semakin berharap Roy berada
tak jauh dari sepeda motornya. Namun dugaanku salah. Seluruh hutan kami sisir
tidak ada Roy. Aku pun cemas sambil berdoa semoga Roy segera kami temukan.
"Apakah hal seperti ini pernah terjadi?" tanyaku
pada salah satu warga yang kebetulan mencari bersamaku.
"Terjadi beberapa kali. Mereka umumnya tidak pernah
ditemukan. Masyarakat di sini sangat yakin jika hutan ini dihuni kerajaan Jin.
Sehingga kami menghimbau kepada warga jika senja tiba dilarang berkeliaran dan
lebih baik ke surau agar tidak tersesat ke dunia lain."
Mendengar itu aku terhenyak. Tidak tahu harus berkata apa
dan hanya bisa berdoa semoga Roy bisa di temukan.
"Roy, kau dimana?" Desisku sambil menerangi semak
dan pepohonan dengan senter ponselku.
0 Komentar