Oleh : Nunung Fitriana
Wacana kesetaraan gender merupakan wacana yang telah
bergulir puluhan tahun. Meledak di dekade 1960 an di beberapa negara Amerika
maupun Eropa, menginspirasi gerakan di Timur Tengah dan sampai juga ke
Indonesia. Wacana yang menuntut cara
pandang dan perlakuan yang setara pada kaum perempuan mengalami tanggapan yang
beragam. Khusus di Madura, wacana ini mengalami reaksi sinis, bahkan ditolak
karena dianggap produk kaum sekuler, atheis, Barat yang bertentangan dengan
nilai-nilai keIslaman.
Pandangan skeptis dan sinis ini tidak sepenuhnya
salah, karena secara epistemic, awal gerakan yang mengusung kesetaraan gender
(feminism) mengalami kecacatan sehingga sering fatal dalam gerakan. Beberapa hal
yang menjadi kecacatan epistemic dalam wacana kesetaraan, pertama adalah
penempatan laki-laki sebagai tokoh antagonis, musuh bersama sehingga gerakan
feminism bersifat antagonistic, vis a vis laki-laki.
Kedua, model gerakan antagonis semacam ini seringkali
menghadirkan jebakan baru sebagaimana yang dipaparkan dalam teori Post
Kolonial. Gerakan antagonis relatif tidak mampu merumuskan parameter yang tepat
atas berhasil tidaknya sebuah gerakan. Parameter yang dibuat seringkali bias
karena memang berangkat dari kurang jernihnya membaca akar keterjajahan
perempuan. Gerakan antagonis umumnya selalu gagal merumuskan “goal” yang
benar-benar memerdekakan.
Gerakan feminism di fase awalnya umumnya berusaha me”take
over” / merebut ruang ruang yang selama ini dianggap dikuasai oleh
laki-laki, seperti posisi posisi strategis di ruang public. Menolak institusi
pernikahan dengan dalil menjadi “ibu dan istri” adalah akar ketertindasan kaum
perempuan. Dan bahkan yang lebih ekstrim sebagaimana feminism radikal inginkan
adalah keluar dari relasi heteroseksual sebagai satu-satunya cara bagi kaum
perempuan untuk benar-benar merdeka.
Ketiga adalah menjadikan keyakinan dan tradisi
patriarkhi (yang dipahami sebagai sosok laki-laki) yang telah mengakar
berabad-abad sebagai satu satunya biang kerok dari keterjajahan kaum perempuan.
Padahal dalam cengkraman kapitalisme neoliberal, analisa nya menjadi tidak
sesederhana itu. Ditangan mereka, keterjajahan kaum perempuan adalah rangkaian
dari keterjajahan lain termasuk kaum laki-laki.
Keempat, feminism yang berkembang di Timur Tengah
tidak hanya mengkritisi tradisi patriarkhi, namun mulai merambah ke ranah
reintrepetasi teks kitab suci Al-Qur’an. Sehingga gerakan yang di gagas kaum
feminis seperti Haideh Moghissi, Fatima Mernissi, menjadi yang tidak popular
ketika harus diadopsi mutlak oleh kaum perempuan di Indonesia, khususnya
Madura. Latar gerakan feminis Islam di Timur Tengah hadir ditengah kondisi
mayoritas negara disana masih dikuasai penguasa-penguasa diktaktor. Dan agama
menjadi salah satu alat yang dipakai penguasa untuk melanggengkan kekuasaanya.
Sementara itu kondisi di Indonesia jauh lebih kompleks.
Indonesia pernah berada pada masa kegelapan “pemikiran
dan kebebasan” di zaman Orde Baru. Dimana feminisme yang awalnya begitu berkibar
di masa pra dan pasca kemerdekaan, kembali terkebiri eksistensinya dalam
program ‘Ibuisasi” perempuan di zaman Orde Baru. Organisai-organisasi
masyarakat dan tentunya perempuan di kontrol secara ketat oleh negara.
Organisasi seperti PKK, Dharma Wanita, Bhayangkari, dsb justru diarahkan untuk
mendoktrin perempuan sebagai mahluk domestik. Tigapuluh dua tahun kekuasaan
Orde Baru nyatanya sangat hegemonik menanamkan paham “ibuisasi” ke alam bawah
sadar kaum perempuan di Indonesia, sehingga meskipun Orde baru runtuh pada
tahun 1998 , kaum feminist saat itu tetap mengalami kesulitan dalam menyebarkan
paham ini. Terlebih kaum feminist ini juga masih terjabak dalam euphoria
kebebasan dan belum mampu mendialogkan feminisme dengan kearifan-kearifan yang
“genuine” dimilikia bangsa Indonesia.
Penolakan atas wacana kesetaraan ini pun mengalir sama
kuat dengan gerakan menyebarluaskannya. Wacana kesetaraan nyaris menjadi materi
wajib bagi kader-kader organisasi pergerakan pemuda di Indonesia, dengan
harapan memberikan dorongan bagi kaum perempuan untuk menimba ilmu dan berperan
diluar peran domestic. Namun berbarengan dengan hal itu ada kekhawatiran atas
wacana ini dianggap hanya membuat perempuan keluar dari norma, kodrat alaminya,
yang sejatinya dua hal ini masih sangat debatable. Penolakan ini semakin massif
muncul dari organisasi-organisasi puritan yang mengusung wacana konservatif,
bagi mereka wacana kesetaraan gender adalah wacana yang diciptakan Barat untuk
menghancurkan akhlak perempuan muslim.
Sampai para ulama KUPI, Rahima dan
organisasi-organisai sewarna melakukan konsolidasi untuk merancang formula yang
tepa tatas wacana kesetaraan tanpa meninggalkan kecacatan epistemik. Sebutlah
Nyai Hj. Sinta Nuriah Abdurrahman Wahid,Prof Dr.Ny.Hj Badriyah Fayumi, Prof Dr Nur
Rofi’ah Bil Uzm, Prof Nassarudin Umar, Buya Hussein Muhammad adalah tokoh-tokoh
yang konsisten dalam merancang formulasi ini. Sampai lahirnya satu masterpiece
dari santri Buya Hussein Muhammad yaitu Prof. Dr. KH Faqihuddin Abdul Qodir
yang menulis Tafsir Mubadalah syang menjawab berbagai pertanyaan mendasar
seputar wacanna kesetaraan gender.
Tafsir Mubadalah memberikan landasan epistemic
yang cukup kuat pada wacana kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Yaitu
prinsip ketauhidan, sebagaimana telah kita ketahui tauhid mengajarkan pada kita
agar menjadikan satu dzat yaitu Allah sebagai satu satunya dzat yang berada di
atas kita, yang pantas disembah. Sehingga
karena hal ini, maka patriarkhi yang menempatkan laki-laki pada posisi
superior atas perempuan, relasi Subyek-Obyek, Memiliki-dimiliki antar sesama
manusia jelas bertentangan dengan prinsip tauhid.
Patriarkhi juga tidak lagi hanya merujuk pada
laki-laki, melainkan tradisi feodal, kasta, perbudakan, penjajahan, system
kapitalisme neolib, dan tradisi-tradisi yang memeberikan ruang bagi manusia/
company/ negara menjadi superior yang berhak menjajah dan mengeksploitasi pihak
lain yang dianggap inferior.
Dalam tafsir Mubadalah juga dijelaskan bahwa dalam
Al-Qur’an maupun Hadist banyak sekali ayat yang menunjukkan kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan. Seperti QS. Al Hujarat ayat 13 yang berbunyi “ wahai
manusia, kami telah ciptakan kalian semua dari laki-laki dan perempuan, lalu
Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar kalian saling
mengenal satu sama lain. Sesungguhnya yang paling mulia disisi Allah adalah
yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah itu Maha Tahu dan Maha Mengerti”
Atau QS At Taubah ayat 71 yang berbunyi “Orang-orang
yang beriman, laki-laki dan perempuan, adalah saling tolong menolong satu
kepada yang lain dalam menyuruh kebaikan, melarang kejahatan, mendirikan
shalat, mengeluarkan zakat, dan mentaati Allah dan rasulNya. Mereka akan
dirahmati Allah. Sesungguhnya Allah Maha kuat dan Maha Bijaksana”.
Atau beberapa kisah sahabat perempuan Rasulullah, Ummu
Salama Ra, Nusaibah binti Ka’ab Ra, Asma’ binti Umais Ra yang datang dan
mengeluh pada Rasulullah soal eksistensi perempuan yang tidak disebutkan
sebagai Subyek dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Seperti dikisahkan oleh Imam Al Baghawi
(w.516/1122) dalam Mu’alim at Tanzil, keluhan para sahabat perempuan ini
menjadi latar belakan turunnya (asbabun nuzul) ayat-ayat yang apresiatif pada
perempuan. Seperti QS Ali-Imran(3):195, QS al Ahzab (33): 35, QS An Nissa (4):
124, QS An Nahl (16); 97, QS Al Mukmin (40):124).
Laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Allah dengan
cinta yang sama, tanpa diskriminasi. Dan Allah membuat parameter yang jelas
atas baik buruknya manusia bukan dilihat dari jenis kelaminya, melainkan pada
sebaik apa ketaqwaan dan kebermanfaatan manusia di dunia.
Karena statusnya yang setara, laki-laki dan perempuan
adalah subyek perubahan khalifah di dunia sehingga relasi yang seharusnya
terjalin adalah kerjasama, bukan vis a vis / antagonis, sebagaimana yang di
formulasikan oleh beberapa aliran feminism. Relasi resripokal/ kesalingan
dengan semangat berlomba-lomba menebar kebaikan di dunia sebagaimana visi Islam
Rahmatan Lil Alamin adalah gerakan yang tidak hanya mengandalkan perangkat
rasio melainkan juga iman.
Kesetaraan sebagai Subyek sehingga relasi yang
seharusnya terjalin adalah kerjasama, kesalingan dengan sendirinya mendobrak
dogma ruang domestic-publik yang selama ini berjenis kelamin. Ruang domestic
adalah ruang perempuan dan ruang public dianggap sebagai wilyah kekuasaan
laki-laki. Prinsip kesalingan menghendaki adanya kerjasama antara laki-laki dan
perempuan disemua ruang. Domestik-publik tidak memiliki jenis kelamin, karena
hanya ada 4 hal yang tidak bisa dilakukan laki-laki dan hanya menjadi
pengalaman perempuan yaitu menstruasi, kehamilan, persalinan dan menyusui.
Dengan prinsip kesalingan, beban ganda atau standar bias gender seperti “boleh
berkarier di ruang public namun harus ingat kodratnya perempuan di ranah
domestic” yang nyata-nyata merugikan kaum perempuan bisa di minimalisir.
Berpijak dari tafsir ini, gerakan kesetaraan gender
ini melangkah lebih jauh dengan melihat kembali ayat-ayat/ hadist, yang sering
ditafsirkan tidak ramah pada kaum perempuan untuk di tafsirkan ulang agar lebih
ramah, mengayomi dan membebaskan kaum perempuan tanpa diskriminasi.
Salah satu contohnya adalah tafsir yang mengatakan
adalah salah satu ciri perempuan ahli surga adalah yang dapat menghasilkan
keturunan. Jika ditafsirkan melekat dengan 3 ciri yang lain maka ayat ini
sangat tidak ramah dan diskriminatif pada kaum perempuan yang memang
ditakdirkan tidak bisa/ sulit memiliki keturunan, atau karena sesuatu hal
menjadi tidak mampu memiliki keturunan.
Perempuan harus pandai bersolek, mempercantik diri
agar suami tidak berpaling adalah bentuk dari pendisiplinan perempuan. Akan ada
konklusi lanjutan ketika suami selingkuh maka kesalahan terletak pada
perempuan, karena tidak mampu mempercantik diri. Perempuan yang menjadi korban
tetapi perempuan juga yang dipersalahkan. Dan sayangnya tafsir-tafsir seperti
inilah yang justru diproduksi secara terus-menerus di tengah masyarakat kita.
Tafsir Mubadalah juga mengajak kita untuk membredeli
isu isu, peristiwa krusial yang terjadi di sekitar kita. Sebutlah fenomena
pertunangan. pernikahan di bawah umur, KDRT, pelecehan/ kekerasan seksual, perdagangan manusia (trafficking).
Seluruh bentuk kekerasan terhadap perempuan selalu dimulai dari anggapan bahwa
perempuan adalah obyek seksualitas. Hal ini harus di lawan dengan paradigma
baru dengan melihat perempuan sebagai manusia utuh yang diciptakan Allah dengan
cinta yang sama dengan laki-laki sehingga melakukan pelecehan, kekerasan,
mengeksploitasi tubuh perempuan, memperdagangkan perempuan layaknya barang,
menyakitinya baik psikis maupun fisik sungguh tidak patut dibenarkan.
Tindakan-tindakan ini bertentangan dengan nilai-nilai keIslaman.
Dari uraian diatas, saya hendak menyampaikan bahwa
memahami kesetaraan adalah upaya melihat kembali status kemanusiaan perempuan.
Sebagai subyek yang setara dengan laki-laki maka sungguh perempuan tidak pantas
diperlakukan secara tidak adil, hanya dianggap obyek atau mahluk setengah
manusia (manusia cacat yang gagal berkembang) sebagaimana disampaikan oleh
Sigmund Freud dalam “penis envy syndrome”. Perempuan bukanlah onggokan daging
yang tidak memiliki perasaan, berhak untuk dieksploitasi dan dikesampingkan
perasaan dan suaranya. Dia adalah mahluk yang sama dengan laki-laki yang juga
memiliki tugas peradaban.
Memperjuangkan kesetaraan bagi kaum perempuan adalah upaya mengembalikan citra perempuan sebagai manusia utuh yang nantinya bisa bekerjasama dengan laki-laki untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih baik. Wallahualam.
2 Comments
Kadang bukan hanya setara, lebih berat perempuan.
ReplyDeleteKajian yang luar biasa. Suka.
ReplyDelete