Jumlah pengemis yang terjaring dalam razia Dinas Sosial
Sumenep tahun ini meningkat dari tahun sebelumnya. Pandemi Covid-19 diduga
menjadi penyebabnya. Bantuan sosial dan
program pelatihan keterampilan ekonomi dianggarkan untuk membendung peningkatan
ini (Portal Madura, 22/8).
Pengemis menjadi bagian dari identitas Sumenep. Di kabupaten
inilah ada desa yang subur bagi pertumbuhan dan
perkembangan pengemis. Saking banyaknya pengemis di desa ini, terbitlah
buku Desa 1001 Pengemis. Sebab menjamurnya pengemis di kampung ini, anugerah
Kampung Pengemis pun disematkan.
Belum ada penelitian yang menyebutkan sejak kapan mengemis
menjadi pekerjaan penduduk kampung tersebut. Hanya menurut cerita, mengemis dilakukan
penduduk setelah Joko Tole, raja Sumenep, dapat menaklukkan Dempo Abang. Perahu
terbang yang ditumpangi Dempo Abang jatuh di kawasan dekat perbatasan Sumenep
dan Pamekasan. Dempo Abang tewas, tenggelam ke dasar laut. Prajurit Dempo Abang
tidak bisa kembali ke kerajaannya. Mereka tinggal di suatu desa dan bertahan
hidup dengan meminta-minta. Sejak saat itulah, meminta-minta menjadi pilihan
penduduk sebagai usaha menyambung hidup.
Membawa pekerjaan mengemis pada masa Joko Tole menyiratkan bahwa pekerjaan ini
telah berlangsung lama. Secara turun-temurun pekerjaan mengemis diwariskan dari
satu generasi ke genarasi berikutnya sehingga menjadi identitas komunitas.
Oscar Lewis (1970), antropolog Amerika, menyebutkan dua faktor
yang mendorong seseorang menjadi pengemis. Pertama, kemiskinan (poverty).
Mengemis dilakukan secara terpaksa karena kesulitan ekonomi. Sebenarnya,
seseorang malu mendapatkan sesuatu dengan jalan meminta-minta, tetapi tidak ada
jalan lain untuk bertahan hidup selain meminta, maka rasa malu itu tidak
dihiraukan.
Kedua, budaya
kemiskinan (culture of poverty). Dalam suatu fenomena, mengemis
dilakukan bukan karena tidak mampu berkerja atau tidak ada pilihan perkerjaan
lain. Lapangan pekerjaan terbuka, tubuh pun sanggup bekerja, tetapi mereka
beradaptasi dengan lingkungan yang menjadikan mengemis sebagai pekerjaan dan
menjadi budaya. mereka tidak miskin namun berperilaku orang miskin yaitu
meminta-minta.
Perbedaaan faktor ini menyebab perbedaaan pola pikir dan
perilaku pengemis. Pengemis karena kemiskinan merasa malu merapu pada orang
lain, sedangkan pengemis karena budaya tidak menganggap menadahkan tangan
sebagai aib. Dalam penelitian Mahfudz (2018) terungkap, mereka menilai mengemis
sebagai perbuatan yang mulia karena termasuk bekerja yang diperintahkan agama.
Mengemis dipandang sebagai membantu orang kaya untuk membersihkan hartanya
dengan jalan memberikan sebagian hartanya pada mereka.
Pola pikir mengemis sebagai perbuatan mulia ini dimiliki
oleh semua pengemis kelompok kedua. Dengan pola pikir ini, mereka percaya diri ketika
meminta sedekah. Mereka bergerilya dari pintu ke pintu tanpa terbebani rasa
malu. Mereka tidak sungkan untuk menjalankan aksinya di tengah kerumunan.
Bahkan, saat ini marak mengemis dilakukan oleh kalangan muda dengan penampilan
perlente. Mereka tidak sepenuhnya salah bila memiliki pola pikir seperti ini
karena inilah pesan yang mereka terima sejak kecil dari pendahulunya.
Tindakan untuk mencegah peningkatan jumlah pengemis tentu
saja berbeda di antara dua kelompok ini. Pengemis karena kemiskinan dapat
ditanggulangi dengan pemberian bantuan finansial atau pelatihan keterampilan.
Dengan bantuan ini, pengemis dapat memiliki pekerjaan dan mendapat penghasilan
sehingga faktor kemiskinan dapat dientaskan
dan tidak lagi menjadi peminta-minta.
Bantuan finansial dan pelatihan tidak akan efektif untuk
kelompok pengemis yang didorong oleh budaya. Kelompok ini bekerja karena pola
pikir yang menjelma menjadi karakter dan budaya. Oleh karena itu, bantuan yang
lebih dibutuhkan oleh mereka adalah sebuah usaha untuk mengubah pola pikir
mereka. Dengan perubahan pola pikir ini diharapkan berubah pola perilaku
kelompok ini.
Tugas untuk mengubah budaya kemiskinan menjadi tanggung
jawab bersama antara pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat lainnya. Semua
pihak memiliki peran dalam menciptakan masyarakat yang mampu hidup tanpa belas
kasihan orang lain. Proses perubahan ini membutuhkan kesungguhan dalam waktu
yang panjang.
Pendidikan memiliki peran krusial dalam proses perubahan
ini. Fungsi pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional adalah membentuk
watak serta peradaban bangsa agar peserta didik berkembang menjadi manusia yang
di antaranya bisa mandiri. Keterlibatan pendidikan dalam mengentaskan
masyarakat dari budaya kemiskinan mutlak diperlukan. Terlebih saat ini
pemerintah menggalakkan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Lima karakter
utama yang hendak ditumbuhkan, dikembangkan, dan dikuatkan dalam program
pendidikan nasional adalah religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan
integritas.
Sekolah memiliki hak untuk memilih karakter mana yang akan
menjadi fokus utama sesuai dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar.
Bila masyarakat mengalami gangguan karakter mandiri, bisa saja sekolah
menjadikan karakter ini sebagai karakter utama yang hendak dicapai. Tentu saja,
sekolah tidak bisa bekerja sendiri. Sekolah perlu dukungan masyarakat, tokoh
masyarakat, dan elemen lainnya termasuk pemerintah kabupaten. Bila semua elemen
merasakan budaya kemiskinan sebagai masalah bersama, maka tentu semua elemen
ini akan bekerja sama dengan serius untuk mengentaskan masalah ini.
(Terbit di Radar Madura)
Taufiqurrahman, Kepala MDT. Raudlatul Islam Tarogan, Lenteng. Mahasiswa Pascasarjana IAIN Madura, Pengurus Kata Bintang. |
0 Komentar