Oleh : Nok Ir
Entah yang ke berapa
puluh kali permintaan yang terasa tak wajar ini membuat pertanyaan besar di
benak Emak dan Bapak yang semakin berat terbebani dan merasa tak lagi mampu
menuruti. Sekali dua kali hingga belasan permintaan yang semula ringan
dikabulkan, sebab masih dapat terjangkau oleh kedua orang yang lumayan sepuh
itu. Pada awalnya, Ijah , anak perempuan semata wayang yang terlahir di saat
Emak dan Bapak di ambang usia senja, ketika mereka terlanjur lama menantikan
kehadirannya, meminta
sesuatu yang biasa saja. Emak dan bapak dengan suka cita memenuhi segala
kebutuhan termasuk keinginannya. Bagi mereka wajar saja jika segala sesuatu yang diinginkan Ijah,
seketika saja dikabulkan secepatnya. Tak lagi dirisaukan bagaimana cara mendapatkan
barang yang diminta Ijah, dengan uang apa
hendak dibeli, maka dengan langkah cepat, segeralah Bapak berlari
mencari sekalipun di tempat nun jauh. Hingga bapak datang dengan senyum
kebanggaan mengembang sebab bisa mempersembahkan barang yang diingini Ijah. Emak
dan Bapak merasa berkewajiban memenuhi semua permintaan anak perempuan semata
wayangnya itu.
Ini kali
kesekian Ijah menuntut barang yang sama namun dengan model, warna dan kelebihan
yang berbeda. Cermin. Ya, hanya cermin yang dimintanya. Semula, Ijah meminta
cermin bundar kecil seperti yang terdapat pada perut pensil dengan warna merah
jambu. Emak dan Bapak segera mengabaikannya. Apalagi cermin yang diminta
menyatu dengan peralatan tulis menulis sekolahnya. Ijah senang bukan kepalang.
Dari cermin pada tautan pensilnya, berfungsi ganda. Bisa meraut sekaligus
mengaca wajahnya. Beberapa saat kemudian, Ijah meminta cermin persegi yang bisa
ditaruh di kotak pensil, namun dapat dengan mudah dibawa kemana saja. Kali ini
tentu saja cermin digunakan Ijah hanya untuk mengaca saja. Saat lain,
dimintanya cermin pada sebuah kotak dengan
bisa dibuka-tutup seperti cermin-cermin perias pengantin. Emak dan Bapak
pun tak keberatan mencarikannya. Masih seperti kali pertama, setiap cermin
permintaan ada, segeralah ia menari gembira dengan nyanyian dan senyum
sumringah terkembang. Emak dan Bapak pun bahagia tak terbilang. Bagi mereka,
tak ada lagi kebahagiaan selain melihat senyum Ijah.
Lalu ada banyak
lagi permintaan cermin-cermin lain yang semakin hari semakin tak lagi mudah
mendapatkannya. Cermin dengan wadah berbentuk beruang jantan dengan warna biru
langit, cermin yang tersembunyi rapi pada kotak merah menyala dengan patung
penari perempuan di penutupnya, cermin kecil dengan pegangan berbentuk sepasang
tangan ramping berwarna nila, cermin oval dengan hiasan kerang-kerang aneka
bentuk tertempel di sekelilingnya, cermin cembung lengkung semacam spion sepeda
motor keluaran terbaru namun dengan warna ungu, cermin persegi panjang dengan
bingkai kayu cendana yang tentu tak murah harganya, cermin besar setinggi badan
orang dewasa yang bisa dipampang di dinding kamarnya, dan masih tak terhitung
lagi cermin-cermin lainnya. Entah darimana anak perempuan itu tahu banyak model
dan bentuk pernak pernik cermin. Mungkin ia dapatkan dari iklan-iklan di
televisi atau hasil bincang dengan kawan sekolahnya. Dan tentu saja semua itu
adalah cermin untuk mengaca. Ya, Ijah gadis kecil yang belum juga baligh, anak
perempuan semata wayang Emak dan Bapak itu, sangat bangga dengan paras cantik
yang tergaris sejak lahir.
Hingga pada
permintaan yang kesekian, Emak dan Bapak telah merasa kewalahan dengan
keinginan yang semakin di luar batas kemampuan. Telah berulang kali Bapak
menyodorkan cermin yang diminta Ijah, namun belum juga bisa terwujud seperti
yang diinginkan. Kepala Bapak semakin pening, otak telah diputar berulang-ulang
untuk mencari cermin yang dimaksudkan.
Emak pun tak kurang hilang akal, bertanya pada setiap orang lewat yang
dijumpainya di pasar, setelah menanyakan pada setiap pedagang. Tak satupun
jawaban yang memuaskan. Bahkan, justru mereka balik bertanya kepada emak, “memang
ada cermin semacam itu?”
Maka
lunglai sudah badan tua Emak yang segera mengadukan kepada Bapak. Namun mereka
tak lantas putus asa. Ijah semakin merajuk berang, setiap kali bapak
menyodorkan cermin pesanannya.
“Bukan seperti
ini yang kuinginkan,“
sergahnya cepat,
secepatnya tangan bapak menarik kilat cermin yang ditunjukkkan. Tak ingin Bapak
repot memilih kembali serpihan kaca yang terhambur ketika tangan Ijah melempar
cermin yang salah ke lantai plesteran rumah Bapak.
“Baiklah,
baiklah, akan kuberikan seperti yang kau inginkan," ucap lembut Bapak. Emak hanya terdiam
sambil berlinang air mata melihat ulah anak perempuannya yang semakin kelewatan
saja.
Hari yang
kesekian Bapak menyodorkan cermin yang berbeda dari cermin-cermin yang beberapa
hari belakangan ini ditolak mentah-mentah oleh Ijah.
Tetap Ijah
berucap: “Bukan seperti ini yang kuinginkan.“
“Kemana harus
Bapak cari cermin yang kau maksudkan?” Ratap Bapak memelas.
“Aku tak mau
tahu. Pokoknya aku mau cermin yang seperti itu." Teriak Ijah memecah
ruangan yang tak seberapa lebar.
Ijah memang
terbiasa bicara keras dan kasar pada Emak dan Bapak. Bahkan terbiasa tak santun
berperilaku kepada mereka. Segala keinginan harus terpenuhi. Semua kebutuhan
musti dilayani. Tak pernah sekedar membantu Emak ataupun memijat punggung Bapak
sepulang mengusung kayu bakar dari pinggir hutan petang hari untuk dijual
keeesokannya ke pasar.
Dalam
kebingungan, Bapak berjumpa dengan seorang alim yang terkenal pandai dan bijak.
Telah banyak orang terbantu berkat nasihat ataupun perkaranya untuk memecahkan
masalah. Demikian pula dengan Bapak, tanpa segan dan canggung mengutarakan
kepedihannya tak dapat memenuhi permintaan anak perempuan semata wayangnya,
hingga mengancam jika tak bisa mengabulkan permintaannya, maka ia akan minggat
dari rumah dan tak mau menjadi anak Emak dan Bapak lagi. Ancaman yang terlampau
berat bagi mereka. Namun, setelah mendapat nasihat dari orang alim tersebut,
seperti mendapatkan durian runtuh di siang hari, senyum Bapak mengembang.
Hatinya berbinar riang sambil terbayang wajah Ijah yang terang benderang.
Cermin
berbingkai keemasan telah terpasang di dinding. Rapi dengan selubung kain tilam
berwarna perak bersinar. Tetap tertutup rapat hingga siap untuk dipersembahkan
pada Ijah sepulang sekolah nanti.
“Cermin yang kau pinta telah datang. Kau
bisa meminta apapun seperti yang kau inginkan, dengan syarat kau harus sabar barang
sebentar agar cermin itu mengabulkan permintaanmu,” jelas
lembut Bapak.
“Benarkah? Aku
bisa minta apa saja?” Pekik Ijah penuh binar
“Cobalah ucapkan
keinginanmu, lalu pejamkan mata sambil sungguh-sungguh berdoa agar cermin itu
dapat segera mengabulkan.”
Tak lama
kemudian Ijah mengucapkan permintaan.
“Aku mau jadi
boneka Barbie!” Ucap Ijah sambil memejamkan mata, komat kamit mengucap doa
penuh seksama.
Di sebalik
cermin itu, Emak sibuk merias wajah dengan topeng dan kostum semirip mungkin
dengan Barbie. Bapak pun tak kalah sibuk mendandani Emak secepat kilat. Saat
dirasa telah siap, Bapak memberi tanda pada Ijah untuk membuka mata.
“Bukalah matamu
dan lihatlah cermin itu“ Kata Bapak sambil menyibak kain selubung
“Aiih, Barbie
cantik sekali,” teriak Ijah girang sambil tertawa.
“Boleh aku
meminta lagi, Pak?”
“Boleh, katakan
saja “
Ijah meminta
ingin menjadi Batman dan segera menutup mata untuk merapal doa-doa. Kembali
Emak sibuk berdandan ala Batman dengan bantuan Bapak. Setelah dirasa cukup
siap, maka Ijah diminta untuk membuka mata dan kain selubung cermin. Terdengar
pekikan takjub Ijah yang terulang.
“Aku masih bisa
meminta sekali lagi kan, Pak?”
“Iya, sekali
lagi.” Jawab Bapak
“Aku ingin
menjadi Power Rangers Pink!” Ucap Ijah sambil segera menutup mata dan membaca
doa. Secepat kilat emak mengganti kostum Batman dengan Power Rangers Pink tetap
dengan bantuan Bapak. Kembali Ijah berteriak suka cita melihat dirinya menjadi
Power Rangers Pink. Tarian riangnya
kembali meramaikan suasana hati Emak dan Bapak.
Dalam lunglai
Emak dan Bapak berpikir keras. Entah permintaan-permintaan anak perempuan
semata wayangnya apa lagi yang akan mereka hadapi kelak, setelah permintaannya
untuk mencarikan cermin yang dapat mengabulkan keinginan Ijah untuk menjadi
apapun. Beruntung Emak dan Bapak sukses bersandiwara, menuruti nasihat orang
alim untuk menyediakan bingkai kaca jendela berbingkai keemasan dengan selubung
kain tiram perak, agar emak bisa berdandan dengan kostum sesuai permintaan Ijah
yang dibatasi tiga permintaan. Dalam
lunglai jiwa raga emak dan bapak memutar otak, mencari cara menyadarkan sikap
buruk Ijah yang sangat merugikan dirinya sendiri.
0 Comments