Karya Kinan
Di malam
hari yang tenang seusai tahlil Jumat manis di teras rumah, seorang kakek duduk
berkumpul dengan cucu-cucunya. Suara-suara ribut akan rasa tak terima atas
kekalahan si bungsu terhadap si sulung membuatnya menggeleng-gelengkan
kepalanya pusing. Tak lelahkah anak-anak ini seharian bermain? Hingga akhirnya
sang kakek berinisiatif membuat cucu-cucu tersayangnya duduk tenang di malam
syahdu ini. Mengingatkannya akan kenangan masa lalu.
“Adik, mbak,
abang.” Panggil sang kakek yang disambut tolehan cucu-cucunya.
Berebutan
ketiganya duduk melingkari sang kakek.
“Iya kakek?
Ada apa??”
“Adik, mbak,
dan abang pernah dengar tidak, tentang kelahiran Joko Tole?” Tanya sang kakek
dengan senyum lembut.
Ketiga cucu
sang kakek saling pandang dengan alis bertaut heran.
“Tahu, kek.
Kan, ada di buku dongeng dan legenda.” Jawab si sulung membuat sang kakek
terkekeh.
“Itu kan
versi umumnya. Bagaimana kalau versi masyarakat desa kita? Kalian pernah dengar
tidak?”
Ketiga cucu
pun menggeleng serempak dan seolah mengerti, mereka mulai bersiap di posisi
nyaman mereka untuk mendengarkan kisah yang akan dituturkan oleh sang kakek.
“Kisah ini
merupakan dongeng tutur yang turun temurun di seputar Desa Banasare, Kecamatan
Rubaru, Kabupaten Sumenep. Tentang lahirnya seorang anak dari Pangeran
Saccaningrat, putra dari Pangeran Mandaraga.”
Konon
setelah dewasa, Pangeran Saccaningrat ingin berdiri sendiri, beliau ingin
berpisah dari lingkungan Mandaraga di Desa Keles, Kecamatan Ambunten. Istilah
masyarakat setempat adalah aduko atau adaduko, yaitu membuat rumah dan lingkungan
sendiri. Hingga pada suatu ketika beliau bermunajat pada Yang Maha Kuasa untuk
diberikan petunjuk atas niatnya. Kemudian datanglah wangsit yang menyatakan
apabila ingin adaduko, maka carilah di daerah sebelah timur wilayah Mandaraga,
daerah terbitnya matahari. Serta titah untuk mengikuti apabila ada cahaya
terang di sebelah timur sana.
Akhirnya
pada suatu malam Pangeran Saccaningrat bermimpi melihat sinar terang itu. Tepat
ketika beliau terbangun, di sebelah terdapat cahaya yang sangat terang sekali.
Malam itu juga Pangeran Saccaningrat membangunkan seluruh rombongannya dan
berangkat di tengah malam mengikuti sinar ke arah timur.
Ketika waktu
beranjak subuh, cahaya itu menghilang dengan sendirinya seolah hilang termakan
terbitnya mentari.
Bingunglah
beliau, “kemana cahaya yang saya ikuti, ya?”
Pada fajar
itu, Pangeran Saccaningrat pun merasa ragu. Akan lanjut kah atau tidak? Apabila
lanjut, maka akan menuju kemana? Karena kini tak ada yang di tuju. Sehingga
hatinya pun bimbang. Atas kesepakatan semua pengikutnya akhirnya
beristirahatlah mereka di daerah itu selama sehari. Kebetulan juga terdapat
sungai di dekat mereka berhenti yang kini dikenal dengan nama Sungai Durbugan yang
juga merupakan air terjun. Maka dengan begitt, bermalamlah mereka.
Karena
kebimbangannya, sampai sekarang tempat itu menjadi sebuah pemukiman dan dinamai
Kampung Mangmang, atau sekarang lebih dikenal dengan Kampung Mangbang. Karena
dalam bahasa Madura, bimbang adalah mangmang atau gimbang yang menggambarkan
hilangnya pendirian beliau pada saat itu. Kampung itu pun termasuk dalam
wilayah Desa Bun Bara’, artinya tabun sebelah barat. Kelak ketika menjadi
sebuah keraton maka bernama Tabun Bara’.
Kemudian
pada malam harinya, telah lewat tengah malam, baliau memohon petunjuk lagi akan
sinar itu. Seolah doanya dijawab, ketika hampir subuh sinar itu pun muncul
lagi. Sehingga dibangunkannya semua rombongan untuk bersiap berangkat. Namun
ketika matahari hampir terbit cahaya itu kembali menghilang.
Di tempat
pemberhentian kali ini, terdapat sebuah pohon besar yang daunnya tak terlihat
karena tertutup oleh bunga. Seakan-akan seluruhnya adalah bunga. Nyanyian
burung-burung pun terdengar ramai. Sehingga tergeraklah hatinya untuk membangun
kediaman disana, di sebuah hutan kecil yang salah satu pohonnya dipenuhi bunga.
Akhirnya sesuai kesepakatan, akan lebih bagus apabila membangun kediaman
disitu, di bawah pohon penuh bunga.
Bunga atau
kembang dalam Bahasa Madura adalah sare. Karena ada di bawah pohon yang
berbunga lebat, maka daerah itu dinamakan E Baba na Sare, e babana kembhang.
Sehingga kini disebut Banasare. Ada juga sesepuh yang mengatakan, Bahasa Jawa
hutan adalah wono dan kembang adalah sari, sehingga menjadi Wonosari (hutan
kembang). Kebetulan di derah itu juga terdapat sumber air, sehingga tepat
sekali untuk mendirikan kediaman. Sampai sekarang sumber air itu dinamakan Somber
Tokat.
Terbentuklah
suatu kerajaan kecil disana yang kemudian orang-orang mengatakan “oh areya
karaton e babana sare, karaton Banasare.” (oh ini keraton di bawahnya kembang,
keraton Banasare). Kemudian Desa Mangbang dijadikan batas barat dari keraton
Banasare sehingga dinamakan Tabun Bara’na Banasare (Tabun sebelah baratnya
Banasare).
Menetaplah
Pangeran Saccaningrat sampai beliau mempunyai seorang putri. Dewi Zaini
namanya. Konon karena Dewi Zaini memiliki kulit berwarna kekuningan, beliau pun
dipanggil Potre Koneng (Putri Kuning). Disebutlah Putri Kuning ini gemar
bertapa di Gua Payudan. Dan sampai suatu ketika beliau bermimpi bersama seorang
pemuda bernama Adi Poday yang menyebabkannya hamil melalui mimpi tersebut. Kala
pulang ke Banasare usia kehamilannya sudah beranjak tua. Namun Pangeran
Saccaningrat kurang senang dengan anak yang hamil tanpa seorang suami, sehingga
diungsikanlah Putri Kuning ke arah utara dari Banasare. Yaitu daerah kecil
bernama Rombuh Baung di Desa Tempe’.
Sesampainya
di Rombuh Baung, Putri Kuning melahirkan seorang putra di tepi sumber air, yang
sampai sekarang sumber itu dinamai Somber Baji’. Karena merupakan tempat
lahirnya putra dari Putri Kuning yaitu Joko Tole. Namun Joko Tole tidak dibawa
oleh Putri Kuning, tetapi ditaruh di sebuah rumah kecil di daerah Kopang yang
berjarak kurang lebih 1 KM dari Rombuh Baung.
Di Kopang
ini terdapat seorang pembuat arang yang biasa disebut Ke Kopang. Ke Kopang
diceritakan mempunyai beberapa ekor kerbau, dan salah satunya ada yang berwarna
putih. Kerbau putih ini setiap hari selalu menghilang, sehingga suatu hari Ke
Kopang pun mengikuti kerbaunya pergi. Terkejutlah ia melihat kerbau putihnya
menyusui seorang bayi, bayi itu lah Joko Tole. Sehingga diputuskanlah ia akan
merawat Joko Tole.
Ke Kopang
bekerja untuk membuat arang yang di setor ke Mpo Kelleng (Mpu Kelleng). Ketika
sudah agak besar, Joko Tole pun selalu ikut Ke Kopang mengantarkan arang. Hingga
Joko Tole pun disenangi oleh Mpu Kelleng dan diminta untuk tinggal menjadi
muridnya.”
“Dan
lahirlah kisah kelahiran Joko Tole menurut versi masyarakat Banasare.
Sampai
sekarang tempat-tempat bersejarah yang melegenda itu tetap ada. Bun Bara’, Somber
Baji’, Desa Tempe’, dan lain sebagainya.
Konon ketika
Joko Tole lahir, air di sumber Tempe’ tidak mengalir. Khawatir apabila ada
sesuatu dari Putri Kuning yang hanyut. Namun kini air disana telah kembali
mengalir.
Dinamai
Tempe’ karena disanalah Putri Kuning melahirkan. Namun nama Tempe’ memiliki
artian yang kurang baik dalam Bahasa Jawa. Sehingga oleh seorang bupati yang
asalnya dari Jawa, Desa Tempe’ diubah menjadi Desa Tambaksari, dan ada sampai
sekarang.
Bahkan
sampai sekarang ladang yang konon adalah tempat Ke Kopang membakar arang tak
dapat ditumbuhi apapun. Di tempat itu hanya di tumbuhi alang-alang. Tepat di
tapal batas dengan Desa Kecer.”
Sang kakek
terdiam sejenak, memperhatikn wajah cucu-cucunya.
“Kalian
tahu? Pada zaman dahulu kisah tersebut ditulis dalam sebuah buku yang terbuat
dari daun lontar bertuliskan Arab Jawa. Namun karena pemilik buku lontar
tersebut hidup sengsara, ditukarlah buku lontar tersebut dengan beras, pakaian,
kopi, dan lain sebagainya pada zaman Belanda. Merupakan suatu kebanggaan pada
masa itu karena anggapannya hanya menukar helaian daun dapat mendapat harta
begitu banyaknya. Sehingga kisah ini pun turun-temurun secara lisan. Karena tak
ada yang dapat merubah sejarah dan legenda. Dan orang itu termasuk leluhur
kakek juga.” Kata sang kakek dengan tawa kecil di akhir kalimatnya.
Ketiga cucu
sang kakek pun melongo. Dan seperti dugaan sang kakek, seru-seruan berisi
protes pun meramaikan teras itu. Hal tersebut pun turut mengundang tawa ayah
dan ibu mereka yang turut mendengarkan tutur kisah sang kakek sedari tadi.
Puas berseru
satu sama lain, sang kakek pun kembali menenangkan ketiga cucunya.
“Kakek belum
selesai cerita, lho.” Kata sang kakek yang membuat cucu-cucunya terdiam
kembali. Kembali dalam posisi mendengarkan kisah sang kakek. Sang kakek pun
melanjutkan kisahnya.
“Pada waktu
Joko Wedi akan berangkat ke Gresik konon berangkat bersama-sama dengan Joko
Tole. Dan tepat pada perempatan mereka berpisah. Banyak Wedi terus ke barat,
sedangkan Joko Tole diam mengantarkan keberangkatannya. Hingga saat ini tempat
tersebut dinamai Karang Tengnga, berpisah di tengah desa. Hingga kini Karang
Tengnga dianggap cukup angker. Cukup sering terjadi kecelakaan di tempat
tersebut. Dahulu setiap Hari Jumat ada banyak orang meletakkan kembang, jajan
seribu, jajan genna’ dan sebagainya disana. Bahkan dahulu kampung itu disebut
dengan Kampung Karang Tengnga, bukan Desa Banasare Barat ataupun Banasare
Timur.”
Kata sang
kakek final yang kembali membuat cucu-cucunya melongo, bahkan anak-anak sang
kakek pun tampak kagum atas tutur kisah sang kakek. Tak pernah selama ini
mereka mendapatkan penjelasan tentang desa yang mereka tinggali seperti ini.
Begitu banyak
pertanyaan
dalam benak mereka untuk diutarakan pada sang kakek. Namun sang kakek lebih
dulu berdiri.
“Nah,
sekarang sudah malam. Waktunya anak-anak tidur. Besok kita lanjut ceritanya.”
“Yahhh,
kakeekkk!!” Seru cucu-cucunya tak terima.
Dan
begitulah malam itu berlalu. Bagai menenun kembali kenangan masa lalu. Berkumpul
dengan sanak famili untuk bertutur kisah akan sejarah yang melegenda atas desa
yang telah mereka tinggali. Kisah yang kini hanya berupa tutur lisan yang
menjadi identitas oleh leluhur. Saksi bisu yang tergerus oleh waktu, dan siap
untuk diteruskan ke generasi berikutnya.
(Pernah diterbitkan dalam bentuk cetak).
0 Komentar