Selamat Datang - DI Blog KATA BINTANG, tempat berproses dan berproduksi serta saling berbagi. Tempat yang nyaman dan saling menguatkan. Tempat para Bintang Memijar.

Tadarus Kata: Nok Ir



Ramadhan Gemilang


Bulan berduabelas bertandan-tandan

Ranum mentimun emas di kemuliaan

Setiap bulirnya riang riuh berguliran

Yang sebulan menimpali bulan kelanjutan

 

Bulan dalam buaian kerlap insan

Dinanti sunyi sekira bisa meminang

Raup binar wajah bersemu hingar

Nantian panjang lampaui inginan

 

Ramadhan dalam kejayaan

Mulia sendiri bersunyi-sunyi

Seperti Yusuf muda di antara saudara bersebelas

Mencurah kemegahan di peradaban

  

Sumenep, 6 Mei 2019

  




Ramadhan Kalbu

Aku ke Ramadhan

Tepis guliran alpa yang lekat di bidang dada

Kuliti satu persatu meski masih berona malu

Entah bilakah bisa termafhumkan

 

Aku di Ramadhan

Tertatih pijarkan malam demi malam

Mentadaburi kitab suci sekadar sekenanya hati

Tanpa getaran jiwa, hanya lisan terbata-bata

 

Aku yang berramadhan

Sibuk gelarkan kudapan menghampar di pelataran

Lupa luangkan sesaat menjelang adzan

Hingga mustajabah doa, terlewat dilangitkan

 

Aku pada Ramadhan

Saling menangkupkan rindu beradu

Luapkan biru pada masing-masing kalbu

Limpah ruah memberkahi, singkapkan haru

  

Sumenep, 07 Mei 2019

 


Kembali

Jembatan lapang yang kita pulangi

Melintang kokoh tak terperi

Bumi ungu kita tetap kaku

Langit berawan perak mengarak-arak

Lintasan sungai membujur sepenuh alur

Mengiringi jengkalan kaki-kaki sibuk menandai

 

Sesampainya kita, ibu bernetra sekilau kaca

Sambutan poranya hanya selirih sapa

Kita erat menjabat lengan beriringan

Sambil menata jiwa ramai bertanya-tanya 

Terbentanglapangkah daun pintu ibu

Memeluki dosa-dosa dengan kucuran rela

 

Telikung mahoni acapkali menimpali

Di kelok membiru menuju rimbunan sembilu

Membayangkan hamparan huma jagung dan sepasang lesung

Tempatnya meratapkan doa kesah sarat mengisah

Tak lelah pijarkan dian

Bagi sunyi bayi-bayinya di rantauan

 

Sumenep, 08 Mei 2019

 

 

 

Ramadhan Di Gaza

Rangkaian serangan meluncur deras

Desing mesiu melengking mencabik-cabik ulu

Dentum senjata lantak membombardir tanpa rasa khawatir

Deru gulungan debu memenuhi kota-kota tak beribu

Kepul asap tebal sambut para syuhada riuh terjungkal

 

Fajar menyingsing ringkih

Tanpa sinar surya laiknya pagi biasa

Gencatan senjata tlah terkabar nyata

Di sisi kantong pesisir, warga miskin sibuk memilih daging anyir

Daging tubuh potongan mayat saudara semuslim

 

Tak ada dekorasi beraroma dan lentera di jalan-jalan Gaza

Bunga sukaria penghias masjid tlah sirna

Berganti foto-foto martir dari serpih mimpi warga

Pasar lengang, pemukiman suram, reruntuhan rumahsakit bertumpuk muram

Kesedihan menguar kentara di antero Palestina

 

Di jeda antara lantunan adzan dan imsak

Tak ada hidangan takjil ataupun iftar menghampar

Cuilan roti hanya berupa serpih-serpih sepi

Seteguk susu hangat bercampur linangan airmata dan keringat

Menghantar maghrib lirih, pembuka shaum berlauk pedih

 

Sumenep,  9 Mei 2019



Rahim Ramadhan

Seusai lerai sya'ban

Kuambil wudhu di kubangan buluh rerindu

Sarat luka dan timbunan daki

Sebab gumulan alpa yang bernanah nganga

 

Orang hingar bertanya di tengah bulan itu

Di rahim mana bisa terlahir kedua

Berharap memanggul suci seputi ari-ari

Dengan mengulik ampunan di helaan nyawa

 

Tangis memecah selepas lelah

Rona bulan menyinar  binar

Lanjuti tadarussunyi hingga fajar dini

Berlapang-lapang di tahajud malam

 

Pungkasan ramadhan

Hadir ke bumi bayi-bayi arogansi

Berkelamin ngeri saling menuding jeri

Dengan jumawa lantang berkata-kata

Telah terlahir raga fitri, tanpa azali

 

Sumenep, 10 Mei 2019

 

 

Ramadhan Di Rantauan

Telah tiba pula ramadhan di lubukku

Berpayung serpih mendung keemasan

Di antara linangan kenang yang berkubang rintik hujan

Dalam derai rinai tanah harapan nan acap membadai

Sekelebatan bayang wajah ibu terbungkuk menuntun alu

Lesung yang membujur, seolah siap beradu mujur

Siangi doa-doa mengiring sepak juang anak-anaknya

 

"Di Bintoro ini kita bermula, julangkan langkah  kalian di antero bumi berbekal kepatutan budi. Akan kukirimkan aroma Kauman dan ricik Kali Tuntang menemani. Kuali tanak kita tetap  berlauk sepat, dengan didihan sayur batang lumbu yang mengaduk rerindu, agar kalian tak lekang aruh lain peradapan dan sorainya jaman." ucapnya

 

Ini tahun ke dupuluhenamku di rantauan

Ramadhan keenam tanpa bertakjil kudapan ibu

Harum mento berbungkus daun pisang sigap terhidang

Semangkuk kolak ketan hitam tak luput dari ingatan

Secawan seduhan kopi murni ramai menimpali

Namun, lawatan nasihat dan tauladan sering terabaikan

 

Kini wajah itu pergi bertudung sunyi

Tak kutemu aroma ibu bertalu-talu

Berganti debur ombak dan bentangan panggang ikan bersinar

Ditingkah butiran jagung terhuyung di batu gilasan

Ramai teriakan orang pelabuhan menjadi gambaran

Pijar kisah berkepanjangan di rantauan

 

Telah tiba pula ramadhan di lubukku  

Berpayung serpih mendung keemasan

Di antara linangan kenang yang mengubang rintik hujan

Beriring-iring melibas hingar masa silam

Terganti lain lukisan di langit rantauan

Masih bisakah tetap kudekap lekat dalam ingat

 

Sumenep, 11 Mei 2019

 


 


Lelaki Penyunggi Hari

Kukemas haru beraroma dupa rindu

Selepas fajar dini membulirkan sunyi

Bentangkan angan bertandang impian

Kiriman doa buat sekuntum jiwa, tak lekang asa

 

Kita adalah bintangbintang di langit hingar rantauan

Berharap sinaran surya sigap tampiaskan

Menjadi terang, kerlipi bumi sepenuh hakiki

 

Duhai,

Lelaki penyunggi hari 

Tak inginkah kau merajuk barang seteguk

Semati samudra bernama kita

 

Sumenep, 12 Mei 2019

 

  


Yang Merajai


Rabbi,

Lamakan tandantandan ramadhan yang  hanya sebuliran

Agar dapat kusematkan hati sepenuh hari

Meninggikanmu tanpa jeda hakiki

 

Rabbi,

Begitu lelah jiwa lungkrangku menyandang langkah

Dalam balutan kasut dosa, yang tiap kali bertambah ada

Tatihan ikhtiar tak jemu kudayakan

 

Rabbi,

Limpahi tanpa jumawa

Jika hendak Kau tumpahkan cobaan sebagai sulur ujian

Yang memutikkan sukma kemaghfirahan

 

Rabbi,

Sematkan selamat pada dien diri

Bila kehebdakMu memanjangkan tali usia

Agar tetap mengenyam arah kekalnya nohtah sejarah

 

Sumenep, 13 Mei 2019

 

 

Kenang Kana



Di lintas lorong Trunojoyo hingga Klenteng Pao Sian Lin Kong, deru arus ricik Kali Marengan Pabian akrab menimpali kaki pada sebuah hari, seperti belia ceria, rusuh berkerumun tanggalkan masa-masa ranum, riang berkejaran menjolok angan, berbaku bahu saling sematkan rindu tersamar sipu, genggaman erat jemari ini menaut, tanpa halang maut, kelilingi pikuk sekitar komedi putar, sambil sesapi gulali bermata warna warni, tak ingin lekang hingga bedah bumi membentang,  semua tersemat di label kenangan.

 

Sumenep, 15 Mei 2019

 

 


Lelaki Berdada Jelaga Dan Bumi Mimpi



Sisik-sisik kerapu lesat ke angkasa membentuk barisan angkara. Bergumpal-gumpal penuh keramaian. Segumpalannya tepat melingkupi deretan jukung bersayap ganda, lengkap santroni mayapada.

 

Raungan puja terngiang riuh pada sepasang lisan tanpa jeda.  Menyirat harap terkucur limpahan perolehan dari selangit asa. Inginan itu tak jua usai, mengerat erat pancaroba menjadi maharaksasa, iklim yang terporanda sebab pongah jumawa.

 

Jukung-jukung tersungkur sungsang. Hendak ke tenggara ataukah arah lainnya, para lelaki berdada jelaga terpana, hampir tak terbaca lagi asupan jejampi dan suar wangi dedupa yang enggan menolongnya. Musim tetap berkerling paling. Soraki rupa bumi yang sekarat mati, lelah menopang sumpah yang meliar basi muntahan mimpi.

 

Sumenep, 15 Mei 2019

 

 

 

 

Lampau



Di surau lampau kutuai musim anai-anai

tiang yang menjulang tlah enggan berkumandang

tapak tangga menuju menara runtuh

kolam pembasuh berlumut kumuh

kentongan panjang menolak tertabuh lantang

pelepah nipah kering menyampah

sepotong sandal tak berpasangan, diam berjauhan

mengandai jika saja pengunjung ramai

semaraki malam bertabur tadarusan

jelangi dini hari dengan tadabur diri

semua beradu malu

lipati ingatan tentang  undangan adzan

bertalu-talu menabuh bilur rindu

 

: di katup bibirmu, masih kukenal pipihnya kenang

 

Sumenep, 16 Mei 2019

 

 

Nisan

 

Kemarin, baru kujerang risalah

perihal ziarah arwah ke pekuburan ayah

penghuluku

di utara Asta Sentono Ratu

 

Kukais pematang ilalang

tetumbuh rimbun penghalang ingatan

gundukan tanah siapa bersanding dengan siapa

nisan-nisan bertuliskan nama tak terbaca

 

Seperti raga lungkrah tak bersukma

kupulangi tanah muasal tak henti-henti

seluruh gundukan tanah nyaring mengundangku

seluruh nisan-nisan kayu teriakkan namaku

 

Sumenep, 17 Mei 2019

 

 

Jejiwa Lara

 

Tuhanku menyematkan nyawa madura di wajah bumi saat menyunting senyum berseri-seri, hingga para pelancong kalang kabut berbondong-bondong ingin berekspansi pada tanah paling seksi, menjulangkan tinggi  dinding breksi, menyulap pekarangan sebagai tambak udang, mencukur gundul kebun nyiur menjadi istana kaum makmur, membabat tandas tanah pekuburan menjadi arena peraduan.

 

Hingga kita saksikan,  tubuh- tubuh bergelimpangan didera murka rayap jumawa, kerumunan saling timbun menimbun, pongah melahap tradisi

 

Sumenep,  18 Mei 2019



 

Mengundang Pulang

 

Kusalut remang di kejora riang

Pada lintasan lintang yang degub berkumandang

Pijarannya mencabik rintik hingga perih

Seluruh senja hingga dini tiba

 

Sebilik jantungku menderik

Sambaran aurora datang tetiba

Pada derai badai nun memuja andai

Di belakang,  kampung ayah melambai-lambai

Sebab tua semakin terabai

Seperti raihan jemari kian menari

Mengais kenang, mengajakku pulang

 

Sumenep, 19 Mei 2019

 

 

Tungku Nyali

 

Serpih bulan terpanggang di perapian

Malam laun tersibak pada duapertiganya

Doa-doa selesai tergerai

Tirai subuh sigap melerai

Dalam khusuk tafakur, kupujai daun-daun gugur bersyukur

Tutup bebijian semenanya bertebaran

Embun fajar yang kan melembabkan

Memberinya waktu tetumbuh buluh

Hingga terbentang peradapan anyar

 

Kukayuh runtuh ribuan depa

Melarung hingga sebrang samudra

Bekal tauladan ibu kudekap di ulu

Warisan ayah kutaut  sebagai risalah

Melecutiku dari belakang, agar asa tak ricuh terkekang

Nohtahi bumi dengan pekikkan imaji

 

Sumenep, 20 Mei 2019

 

 

 

 

 

Pelabuhan Mimpi

 

Kularung sampan lapuk jauh ke sebrang

Layar yang terkembang samar terkobar

Lampaui belasan dermaga tanpa transaksi

Amukan topan sibuk menghalang

Kibasan sirip-sirip pari cemoohi

 

Lintasan Tolale tak lagi menali

Enggan menautkan teluk dengan teluk

Karang berbatu menonjol pilu

Pelepah nipah justru menabur sampah

Seolah bentang bumi  tolak berkongsi

 

Sandar di tanjung tujuan, ku terkapar nanar

Rimbun hutan bakau tak lagi memukau

Tong-tong perigi kosong tak berisi

Timbunan cakalang minim berlalu lalang

Menobatkan saudagar-saudagar kaya sebagai rajanya

 

Sumenep, 21 Mei 2019

 

 

 

 

 

Mendera Deru

 

Nyiur merisik ayun berayun dendangkan angin buritan

Riak ombak bermekaran di butiran pepasir anyir

Harum khas samudera menyuar hingga katulistiwa

Ditingkah bebatu Toraja menbujur semesta

 

Orang-orang laut menyemat risalah indah

Moyang yang gegap laksana diraja dunia

Kisah mambang segara kobarkan gelora

Menantang topan yang sekian detik tiba-tiba menyambang

 

Anak-anak pantai rajin menepis jalinan sansai

Dianyamnya menjadi tebaran jorang

Puja pujinya lesat ke angkasa

Gunungan kerapu kiranya segera tersapu

 

Perempuan-perempuan setengah telanjang riuh menuntun keranjang

Baginya terhimpun berkat rapal perolehan

Bibir pantailah penaut jiwa-jiwa yang diperlautkan

Hingga roman kusut sebagai penanda masa kalut

 

Sumenep,  22 Mei 2019

 

 

Rapalan Peladang

 

Pada hamparan pematang

Nini peladang menabur pandang

Awan keemasan membakar wajah tungkunya

Himpunan jelaga, kubangan nestapa

Beragam titik penat menodai

Ditiupkannya angin muson timur bercampur bakaran jerami

Merapal puja pancaroba segera terakhiri

Musim tanam hanya sempat mencibir

Panen awalan yang luput tergelincir

Tetiba, ladang meradang geram

Hutan ilalang menjelma selukis wajah dewi agni

Melalap petak-petak semai tanpa jeri

Menagih upeti, seperti jumanji

Bahwa akan terkirim dupa beraroma kesturi

Hingga hanya benih dan salah mangsa yang menyatru

Memandikan masa, terlahir sebagai penghujan tiba

 

Sumenep, 23 Mei 2019

 

 

Tanjung Toraja

: Kepada Jie

 

Telah kita singgahi di senja menggelincir rata

Saganya remang membalur bulir rambut

Batu-batu bongkah yang dirindu banyak penziarah

Sematkan ragam remah

 

Bebatu tanjung toraja, demikianlah kau

Sebongkahmu menggamit samudraan akal

Bagiku menyandar aruh haluan

Tanjung tempatku pupus, istirah penuh

 

Bila temali terjulur tak lurus

Tempalah kemudian hingga ke tepian

Pilin jalinlah agar terampai arah

Ke dermaga iman, tempatku kumandangkan dendang

 

Ingin kurenangi

Hirup harum aroma dadamu

Rasakan buai, lalu terjaga sebagai telaga

Riak jeram mengalir menujuku

Aruh membasuh mozaik masa depan di binar wajah anak-anak kita

 

Sumenep, 24 Mei 2019

 


 

Tetap Memadura

 

Dada breksi menjulang tinggi

selamanya mengulum saksi

kata-kata aniaya terkubur nyata

 

Jalan-jalan bukit menyempit

merupa ayu wajah kota

setiap membaca risalah raja-raja

 

Debur Badur tinggal uzur

dayung kayu tergantung layu

payungi ladang kenangan

 

Dada madura menyala-nyala

menyemat lekat di tiap nyawa

merdeka sejati

 

Sumenep, 25 Mei 2019

 

 

 

Panggilan

 

Telah kusematkan jubah paling panjang

kepantasan berbaur wewangian

bertudung lengkap,  sepasang terompah

memenuhi warkat panggilan

 

Panggilan tak terwakilkan

saat tak boleh lewat

perhelatan yang utama

dalam hantaran sanak saudara

 

Telah kusampirkan baju paling baru

yang berhias sedikit amal gugu

yang berkubang peluh kekal 

terkucur airmata sesal

 

Merangkakku

tersendat pilu   

terbeban hutang

tertagih janji

terabai ampunan

mendatangi panggilanMu

dalam tobat

 

Sumenep, 26 Mei 2019

 

Mempelai

 

Menyanding beku

Menyebelah berpipi ungu

Dada pastel menjingga

Jemari tergenggam bara

Pupil jelaga berpasangan

Bibir pasi bertautan

Gerai rambut menebar kalut

Bumi berkalang kabut

 

: mempelai mempelam ranum

  tuju pelaminan

  di tirai jembatan

  dalam cebur pelarian

  tak terjedakan

 

Sumenep, 27 Mei 2019


 

Tentang Kita Dan Debur Madura

 

Pada bulatan rengginang telah lama kubuaskan aroma ikan, kau cicipi dengan sejumlah sari, kuteliti sepenuh hati bahkan tak cuma sekali, usah kau resahkan rasa yang berubah, sebab pada sempurnanya, kutautkan pula warna-warna menyerupai atma, hingar bertandang menujumu, sepenuh haru.

 

Pada hamparan lengkung sembilan Bringsang, acap kutitipkan dendang mambang laut tuk menghela kalut, diam-diam kusemati sebola pijar matahari,  hanya untuk mencahayai kamar hati ini, hanya ada satu ceruk teruntukku merajuk,  menggelayutkan dandanan kisah kita, hanya bersulurkan setia paling purba semata membintangi langit-langit hati.

 

Pada setitik lambaian Roomwangi yang sering kau kanvaskan secara sembunyi, kutemukan pulau anakan berdermaga panjang, wadahmu menyambut kedatangan bulan gemintang yang terkadang tersipu mengulum rindu, menanti sepasang jemari sigap menggenggam untaian skenario masa depan, merekatkannya pada mozaik tetakdir sepasang dada merah muda enggan meniada, adakah azimat termaslahat selain pikat.

 

Mungkin benar, kita sama-sama penggentar untuk segala gelora paling maya, pada kejauhan paling alpa, di kehilangan paling layang, namun serupa pelepah nipah yang tersungkur gugur, bukankah masih ada nyawa doa untuk setiap ikhtiyar tanpa jeda?

Sumenep, 28 Mei 2019



Secarik Pesan

 

Masih kutimang secarikmu dalam gamang

sesekali kububuhkan jawaban di catatan kaki

untaian kalimat sapa berderai mengungkap pana

meluncur kemudian larikan asupan

berhamburan iba kasih sebiji benih

padahal semalam di ambang hutan, telah kau tangkupkan wajah purnama terulur di pucuk rona

 

Secarik pesanmu, tertinggal di daun pintu

" Duhai,

  kau rayakan rindu dengan caramu

  menghujam legam sekujur badan

  menyisir tiap jengkal sayatan

  tiupkan semilir

  hangati tiap sudut persembunyian

  tempatku menitipkan simpul malu

  terbias di jantung ungu"

 

Sumenep,  29 Mei 2019



 

Percakapan Anak Segara

 

Sambil memilin jaring, kujerang langit kemuning

Kupicingkan netra memandang bumi terbakar sia-sia

Pinggiran dermaga telah menjadi kampung metropolitan

Berdesakan kamar riuh jerit tangis kanak berraut magis

Tonggak mercusuar tersulap tiang jemuran

Mengeringkan dada luka dan mata pari

 

Bumi telah begitu mati, jangan berhenti melayar dan mengayuh sampan, singgahi antero pulau untuk jalinkan terumbu karang kerajaan para ikan, bangun peradapan segara sepenuh daya agar orang-orang laut tak mati terjerat kalut, hingga setelahnya bisa kutemui samudera nun meraya.

 

Sambil tetap memilin  jaring, bergantian kujerang puisi

Mengabarkan cakalang yang bergelepar sendirian Tertulis sisik kerapu yang terpojok kelu

Lama sudah tak ada timbangan di pelabuhan

Perempuan penyunggi seperti terbius suri

Menatap kapal-kapal besar meraup harta pampasan

Jauh di timur laut

 

Sumenep, 30 Mei 2019

 

 

Mantra Jiwa

 

Tirta bening putihkan puja

Membias di kuning senja

Langit mentimun keemasan

Memang naga awan  di kamar jiwa

Mantra magis hembuskan sulur bertasbih

Julang menjulang

Saling menyemoga

 

Tundukku menjelma Hunjuk melingkar seputar nirwana

NurMu menebas pongah jumawa

Angkuh mengangkat tanpa sembunyi nyali 

Tersungkur lamur pada tanah kekubur

Mengurai dalam kikisan umur

 

Sumenep, 31 Mei 2019

 



Senja Renta

 

Senja menyaga, langit barat lamur melarat

Kubayangkan masa tua, tertatih melambat serupa kulikan ulat

Geliat yang patah-patah, mematahi waktu

Seperti kuntuman kelopak ranum, terjulur dedaun sibuk menggugur

 

Terngiang di pikiran, bayang kampung halaman

Rumah geladak bapak mengepak- kepak dalam angan

Tempat ibu menambatkan ari-ari penanda diri

Bersama sesanak melukiskan pohon asa pelindung keramat jiwa

 

Warna yang kutoreh memberi semarak

Telah kusaputkan kanvas berlalu lalang

Menyemat bunga dan gemintang di sunggian malam

Akan kukabarkan pelangi berkesumba mewarni

Jelang subuh renta berbekal rembaka

 

Di sana malam semakin jatuh kelam,  ungu melebam

Ingin kuriakan semacam perhelatan menyambutnya datang

Menggerai rima uban yang menyembul di antara sesal

: aku tak lagi belia

 

Magelang, 1 Juni 2019

 

 

 


 

Jie, Bahkan Sekadar Pada Masalalumu Pun Aku Tersipu

 

Jie, bahkan sekadar pada masalalumu pun aku tersipu

tak ada pipi bersemu merah jambu

tanpa rok polkadot berundak-undak

gambar komedi putar dan lelehan harum manis seolah kau sembunyikan

rangkulan senja berlangit magenta pada tabir ilalang kita pun seperti tertimbun masa.

 

Jie, bahkan sekadar pada masalalumu pun aku tersipu

berkeranjang-keranjang kenang kau tumpahkan

membilur haru pada wajah berona gugu

kau onggokkan riang di kuakkan pintu

yang segera kupinang di sebelah ulu.

 

Jie, bahkan sekadar pada masalalumu pun aku tersipu

malu nan bertalu-talu

 

Magelang, 2 Juni 2019

 

 

 

 

 

 Fajar Berkerak Alpa

 

Subuh nun kuning

Sebutir bening menggelincir hening

Rambati hati tuju aliran nadi

Kucurkan aruh keruh

Netra jiwa tanpa retina

Sekat jantung tanpa relung

Aorta tak bernyawa

Nafas tak berongga

 

Seluruh sesak, dosa berdesak

Bilangan jemari seperti kurang menggenapi

Buliran tasbih hanya berupa kejaran buih

Menepi, berlarian lalu hilang

Tak tersisa makna

Tanpa pijar rona

Tak berhariraya

Hanya tinggalkan luapan alpa

 

Magelang, 3 Juni 2019

 

 

 

Kelabu

 

Serupa rindu, tlah kulupa sebilangan apa alpa di telaga dada. Tapi luruh senja dan hujan selalu mencatatnya ingat. Tertimbun daun yang menggugur melembabi tanah basah di lebat batinku.

 

Benar, betapa ringan kata-kata rindu terluncur deras, sedang merawatnya sungguh sangat larat. Acapkali kenanganpun sulit terapal benar saat mahadaya bertandang secawan culas tampiaskan hinaan welas. Membuatku kepayang, muak.

 

Magelang, 4 Juni 2019


  

3 Comments

  1. Selalu saja terpukau dengan kata demi kata dalam bait puisi yang tersaji.
    Entah kekuatan magis apa yang dipunya seolah tak pernah habis penyair satu ini berkata-kata.

    Aroma semerbak 90 hari menjelang datangnya Ramadhan Karim semenjak kini.

    ReplyDelete
  2. Diksinya memukau, renyah dan sarat makna. Keren Mak Nok'ir

    ReplyDelete