Oleh Taufiqurrahman*
Tahun ini
Sumenep berusia 753 tahun. Usia yang lebih tua bila dibandingkan dengan usia
kota-kota besar di Indonesia. Surabaya yang berulang tahun pada Mei berusia 24 tahun
lebih muda dari Sumenep. Jakarta pada Juni lalu merayakan ulang tahunnya yang
ke-495.Yogyakarta pada Oktober ini masih berusia 266 tahun. Jika yang muda
harus hormat pada yang lebih tua, kota-kota ini mesti hormat kepada Sumenep
sebagai kakaknya.
Usia seseorang
hanyalah bilangan waktu yang tidak selalu linier dengan tingkat kesuksesan.
Begitu pula dengan usia kota atau kabupaten. Kabupaten yang lebih tua tidaklah
pasti lebih maju sebagaimana yang muda tidak selalu tertinggal. Bagaimana
kondisi Sumenep di usianya yang hampir delapan abad? Maju atau tertinggal.
Mesjid dan Alun-Alun Tempo Dulu
Banyak
parameter yang bisa digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu
kawasan. Salah satu di antaranya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM
digunakan oleh United Nation Development Programme (UNDP) dalam mengukur
peringkat pembangunan suatu negara. Semakin tinggi IPM suatu negara, semakin
baik hasil pembangunan negara tersebut. IPM juga digunakan pemerintah
Indonesia untuk mengukur kemajuan pembangunan manusia di provinsi dan kabupaten
seluruh Indonesia. Setiap tahun pemerintah menghitung IPM setiap daerah sebagai
indikator keberhasilan pemerintah daerah.
Pada
Desember 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) Sumenep memublikasikan IPM Kabupaten
Sumenep untuk tahun tersebut sebesar 67,04. Angka ini lebih besar 0,92 persen
dari capaian tahun sebelumnya. Namun pertumbuhan ini belum mampu mengeskalasi
posisi Sumenep yang berada di peringkat 32 dari 38 kabupaten/kota di Jawa
Timur.
Memang
ironis. Sumenep pada tahun 2019 tercatat sebagai 10 kabupaten dengan pendapatan
tertinggi, namun dalam hasil pembangunan manusia berada di 10 terbawah. Realita
ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kabupaten Sumenep belum mampu mengkonversi
tingginya PAD menjadi mutu sumber daya manusia. Anggaran yang dikelola
pemerintah kabupaten belum berdampak signifikan terhadap pendidikan dan
kesejahteraan masyarakat.
“Pendidikan memberi tuntunan terhadap segala
kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang setinggi-tingginya.” Demikian Bapak Pendidikan Indonesia Ki
Hajar Dewantara menjelaskan tujuan pendidikan. Segala bentuk kegiatan apapun
dalam pendidikan, termasuk gonta-ganti kurikulum pada dasarnya bermuara pada
dua hal tersebut, keselamatan dan kebahagiaan. Kalau bisa diringkas menjadi
satu, tujuan pendidikan yaitu untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan telah menunjukkan
keselamatan.
Kebahagiaan
bukan menjadi tujuan pendidikan saja, tetapi menjadi tujuan manusia hidup
dunia. Manusia membanting tulang, berjibaku melawan lelah siang dan malam
karena dihantui kekhawatiran akan penderitaan. Ia pun tidak letih berjuang
untuk mendapatkan kebahagiaan yang diimpikan. Kebahagiaan akan datang dalam
bentuk harta, kekuasaan, dan rupa lainnya. Kebahagiaan yang diupayakan bukan
hanya untuk dirinya, tapi juga untuk keluarganya.
Pendidikan
walaupun bukan satu-satunya jalan untuk mencapai kebahagiaan, tetapi mempunyai
peran besar untuk menciptakan kebahagiaan. Bila kemapanan ekonomi adalah jalan
bahagia, pendidikan bisa mewujudkannya. Jika jabatan adalah tangga menuju
bahagia, pendidikan akan mengantarkannya. Semakin baik pendidikan suatu
masyarakat, semakin sejahtera kehidupannya dan tentu saja berpeluang besar
untuk semakin hidup bahagia.
Memajukan
pendidikan menjadi prioritas pemerintah dalam memajukan bangsa ini. Dengan
pendidikanlah bangsa ini akan mampu berkompetisi dengan bangsa lainnya.
Kegagalan membangun pendidikan sama halnya dengan kegagalan menciptakan
kemerdekaan. Bangsa yang tidak terdidik dengan baik akan terjajah di negerinya
sendiri. Mereka akan menjadi perahan bangsa lainnya. Karena itu, peningkatan
pendidikan harus menjadi agenda utama pemerintah termasuk Pemerintah Kabupaten
Sumenep.
Upaya
peningkatan pendidikan di Sumenep perlu fokus pada peningkatan kualitas karena
secara kuantitas, khususnya di tingkat dasar, sudah berlebihan. Pada tahun 2020
ada 656 Sekolah Dasar (SD) dan 559 Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Sumenep (BPS
Jatim, 2021). Ada 1.215 lembaga setingkat SD yang tersebar di 334 desa. Bila
dibagi rata, setiap desa memiliki 4 lembaga setingkat SD.
Jumlah
lembaga ini lebih tinggi dari kebutuhan sehingga mengakibatkan persaingan tidak
sehat antar lembaga. Ada desa yang memiliki tiga dusun. Setiap dusun ada dua
lembaga yaitu SD dan MI. Di salah satu dusun ada dua lembaga di bawah naungan
dinas pendidikan dan kementerian agama yang lokasinya sangat berdekatan,
berhadapan, hanya dipisahkan oleh jalan desa. Di dusun lainnya, dua lembaga
hanya dipisahkan pagar. Dengan kondisi seperti ini bisa dipastikan mereka
bertarung untuk saling “mematikan”. Sepanjung tahun mereka menyusun strategi
untuk mendapatkan siswa. Jika tidak, mereka tidak akan mampu bertahan lalu akan
“mati”.
Peperangan
antar lembaga tidak hanya terjadi pada satu desa itu saja, tetapi lumrah
terjadi di pelosok-pelosok desa. Saking banyaknya lembaga, satu sekolah atau madrasah
hanya mempunyai siswa sekitar 60. Itu pun masih bagus. Banyak sekolah yang
melayani di bawah 40 siswa. Mereka kusulitan menjaring siswa masuk ke
lembaganya. Para siswa yang sedikit itu didapat dengan umpan satu juta setiap
orang. Andai tidak mau mengumpan, bersiaplah untuk tutup sekolah.
Dengan
rimba seperti ini, janganlah banyak berharap pendidikan di Sumenep akan
berkualitas. Walaupun bukan satu-satunya, kekuatan finansial mempengaruhi
kualitas layanan pendidikan di suatu lembaga. Lembaga yang aliran dananya
kering kesulitan untuk membuat pendidikan berkembang. Mereka masih berpikir
untuk sekedar survive. Bantuan Opeasional Sekolah (BOS) yang diterimanya
sedikit hanya cukup, bahkan kurang, untuk membiayai operasional pokok sekolah.
Apalagi sebagian digunakan untuk umpan siswa. Perlengakapan sarana dan media
yang mendukung pembelajaran tidak pernah kebagian alokasi.
Sekolah
atau madrasah yang siswanya sedikit tidak hanya kesulitan memberikan layanan
pendidikan yang berkualitas, tetapi juga membebani keuangan negara. Mereka
memberikan pelayanan yang kurang berkualitas tetapi dengan biaya yang mahal. Di
dua lembaga yang berdekatan, masing-masing guru kelas mengajar 5-10 siswa
padahal seorang guru kelas bisa mengajar 20-38 siswa. Anggaran gaji dan tunjungan untuk guru
menjadi kurang efisien karena hanya mengajar siswa yang sedikit.
Andai dua
sekolah itu melebur menjadi satu, maka kebutuhan jumlah guru semakin sedikit,
anggaran yang disediakan pemerintah untuk guru juga berkurang. Jumlah dana BOS
yang diterima sekolah lebih besar sehingga meningkatkan mutu pendidikan
sekolah.
Banyak
hal yang bisa dilakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep untuk memajukan pendidikan.
Salah satunya, memfusikan (regrouping) dua lembaga yang berdekatan dan
memiliki siswa yang sedikit. Penggabungan ini bisa antar sekolah, antar
madrasah, atau antar sekolah dan madrasah. Selama ini Pemkab telah me-regrouping dua sekolah. Sekarang
saatnya Pemkab berani menggabungkan sekolah dan madrasah.
Hidup
bahagia adalah impian semua manusia, dan pendidikan adalah jalannya. Dengan
pendidikan yang berkualitas, semoga masyarakat Sumenep menjadi lebih sejahtera dan hidup bahagia.
Mereka menikmati tinggal di desanya tanpa harus merantau untuk menyambung
hidup. Karena itulah janji Sumenep dalam namanya, Sumenenep, soddi nginep.
*Warga
Desa Tarogan Kecamatan Lenteng yang mengajar di SDN Kapedi II.
0 Komentar