Hidayat
Raharja, lahir di Sampang, 14 Juli 1966. Ia guru senior di Kabupaten Sumenep.
Guru mata pelajaran biologi sekaligus Wakahumas di SMA Negeri 1 Sumenep.
Kemudian takdir mengembalikannya dan dipindahtugaskan ke tanah kelahirannya
menjadi kepala sekolah di SMA Negeri 4 Sampang saat ini.
Guru lulusan
Universitas Yogyakarta ini dikenal banyak kalangan sebagai guru yang salah
jurusan. Bagaimana tidak, guru ke-Biologiannya tidak banyak dikenal masyarakat,
justru terkenal sebagai penyair yang aktif dalam berkesenian dan kebudayaan.
Bahkan materi Biologi ia kristalisasi ke dalam bentuk puisi yang ia sebut
sebagai hibrid. Berikut salah satu contoh puisi dengan muatan Biologi.
SUBSTANSI MATERI GENETIK
dari sini sifat-sifat diturunkan
dari moyang ke anak turunan
benang kecil sepanjang enam kaki
dalam inti
membawa kode-kode genetik
menyampaikan;
baik dan buruk
sehat dan sakit
cinta dan dendam
sayang dan benci
ikhlas dan berat
tergantung kemana bandul pikiran
kau panggul
tergantung kepada jenis nutrisi
kau telan
tergantung dimana ketulusan
kau letakkan
Dalam kesusastraan,
Hidayat Raharja menuliskan sebuah artikel berjudul “Sastra sebagai Tubuh.” Ia
mengenalkan kembali dan menajamkan bahwa sastra mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan, ia menyebutnya sebagai sastra hibrida. Ia dengan antusias menceritakan
kegilaan penyair Canada, Christian Bok
(2011) yang menyalin puisi pendek ke dalam kode genetika dan kemudian
menanamkannya ke dalam DNA bakteri Dienicoccus
Radioduras. Bok menyatakan dengan menemukan media baru dalam tubuh bahteri,
puisinya akan abadi sampai alam jagat raya hancur berantakan di akhir
kehidupan.
Hidayat
Raharja juga sangat perhatian dengan perkembangan politik terutama irisannya
dengan dunia sastra. Perubahan eksternal sastra yakni sosial politik menjadi sebab
perubahan dan perkembangan dunia sastra. Munculnya Sumpah Pemuda dan Teks
Proklamasi merupakan bukti pengaruh tersebut. Munculnya wacana sastra
kontekstual (1980), gerakan revitalisasi sastra pedalaman (1990-an), hingga
sastra hibrida adalah bentuk dari perubahan dan perkembangan lainnya.
Kecintaannya
terhadap budaya nusantara terutama budaya Madura menjadi ibadah utama dalam
berkreatifitas. Salah satu pernyataan cintanya itu disampaikan ketika
berbincang dengan Set Wahedi. “Kalau pun
kita mesti mencapai suatu kemajuan haruslah bertumpu pada nilai-nilai
kebudayaan yang kita miliki. Bukan mengikuti cara-cara orang lain, yang
jelas-jelas hanya mengedepankan keuntungan semata.” Terbukti pula banyak
karya puisi, artikel, esai, dan cerpen yang menggunakan diksi bermuatan
kearifan lokal.
Hidayat Raharja
dalam bionarasinya selalu menyebut penyuka puisi, menggambar, dan fotografi. Menggambar
sketsa sdalah kesukaannya dan ditekuninya sejak tahun 90-an. Sepertinya itulah
teknik dan media yang menjadi tempat lahirnya ekspresi kesusastraannya. Ia
menyebut dirinya penyuka sebagai indikasi rasa hormat kepada pembaca karyanya
dan sebagai sikap kerendahan hatinya. Di bulan agustus tahun 2019 diundang Cemeti
Institut pameran bersama dengan beberapa seniman dalam tajuk “Nêmor: south east
monsoon” dan di bulan desember 2019 memaerkan beberapa sketnya yang
menyampaikan persoalan pesisir di daerah Tanglok dalam paneran berjudul : “
Tanglok: Seni Rupa Pertunjukan”
Menurut salah
satu muridnya, Yoyok Subakti, “Hidayat
Raharja adalah sosok guru yang Jujur, lugas, dan tegas. Tak banyak prediksi
tentang seni, yang bisa ia lakukan, dilakukan tanpa menunggu siapapun. Ia
bergerak tanpa membuat riak.”
Hidayat
Raharja juga welcome dengan penuh
rendah hati kepada siapapun yang ingin belajar bersama tentang berkesenian
terutama puisi, menggambar sketsa, dan foto lubang jarum. Khusus lukisan sketsa,
belajar kepada perupa Saiful Hajar dan menjadi pekerja Kelompok Seni Rupa
Bermain (KSRB). Di tahun 90-an bersama KSRB aktif mengadakan gerakan kesenian merespon
terhadap persoalan sosial budaya dan politik. Ia tak pernah menolak diundang
dalam acara apapun yang melibatkan kemampuannya dalam bidang seni. Ia selalu
diterima di mana saja dan oleh siapa saja bahkan ketika
masih di SMA Negeri 1 Sumenep, ia
mendirikan lembaga Savant, wadah bimbingan
menulis kreatif bagi anak dan remaja bertempat di teras rumahnya.
Setelah sekian
lama menemani tumbuh kembangnya sastra di Kabupaten Sumenep, ia melanjutkan
misi seni dan budayanya di tanah kelahirannya. Dalam reportase dengan RRI
Kabupaten Sampang ia menyampaikan harapan.
"Harapan saya untuk kesenian dan budaya di
Sampang lebih maju seperti daerah lainnya serta bisa lebih meriah lagi," katanya pada Rabu
(16/9/2020).
Ia
menginginkan agar di kota kelahirannya di Kota Bahari, Sampang, tetap bisa
berkarya untuk memberikan warna dalam rangka untuk memperkaya khasanah
nilai-nilai dalam seni budaya masyarakat. Kesenian sebacai ilmu pengetahuan yang kaya nilai-nilai kehidupan yang
bermakna. Ia juga berencana mengadakan pagelaran seni dan budaya pada akhir
tahun 2020.
Beberapa tulisannya dipublikasikan
di media cetak dan digital. Beberapa buku puisinya memenangkan sayembara
buku pengayaan yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, antara
lain: Nyanyian Buat Negeriku (2009), Jalan ke Rumah-Mu (2010). Puisi-puisinya
juga terangkum dalam berbagai antologi bersama. “Kekerasan dalam Kelompok Sosial Mayarakat
Madura” pemenang ketiga lomba penulisan esai
kebudayaan–Dirjen Kebudayaan RI-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI,
Jakarta, 1999. “Air, Manusia, dan Peradaban” Pemenang Keempat
Lomba Penulisan Karya Tulis ilmiah Lingkungan Hidup, Dirjen Dikdasmen, Jakarta,
2003. “Nyanyian Buat Negeriku” Pemenang III Sayembara
Penulisan Naskah Buku Pengayaan –Pusat Perbukuan–Kemdiknas, Jakarta,
2009. “Jalan ke Rumah Mu” Pemenang I Sayembara Penulisan
Naskah Buku Pengayaan–Pusat Perbukuan–Kemdiknas, Jakarta, 2010. Buku
puisinya Kangean ( Bening Pustaka–Kaleles, 2016)
terpilih sebagai 15 nominasi buku puisi oleh Yayasan Hari Puisi
Indonesia, Jakarta. 2016.
Karya lain yang merupakan hibrida, sastra dan sain adalah Penghayatan Terhadap Cahaya (Intishar, 2017) dan Kloning (Intishar, 2018) dalam bentuk puisi, dan banyak lagi karyanya sejak 1992. (S. Herianto)
0 Comments