Senyampang momennya tepat, hal
pertama yang ingin saya sampaikan dalam esai ini adalah kalimat doa, semoga ruh
Sjafruddin Prawiranegara kembali
kepada Tuhan dalam ridha dan diridhai. Aamiin. Esai ini juga sangat tepat
waktunya dengan tanggal terbentuknya Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI) sehingga Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengikat momen tersebut menjadi inspirasi terbitnya Hari Bela Negara
setiap tanggal 19 Desember.
Sebelum ke pembahasan tentang
Sjafruddin Prawiranegara dan PDRI, ada baiknya saya sampaikan beberapa judul artikel yang
membahas tentang status Sjafruddin Prawiranegara. Ada artikel berjudul positif seperti: Presiden yang Terlupakan; Sjafruddin
Prawiranegara Tokoh Nasional; Presiden De Javasche Bank (DJB) Pertama dan
satu-satunya; Sjafruddin Prawiranegara penyelamat republik; dan sebagainya. Ada
pula judul artikel yang bernada negatif seperti: Sjafruddin Prawiranegara
Dilarang Naik Mimbar; Gunting Sjafruddin; Pemberontak PRRI/Permesta; dan
sebagainya.
Sebelum lanjut, saya ingin bertanya: apakah pemerintah kita punya catatan
sejarah khususnya tentang Sjafruddin
Prawiranegara? Sebagai contoh pemerintah kerajaan Joseon, Korea, mencatat semua peristiwa dan perilaku raja dan para
punggawa kerajaannya. Punyakah kita orang seperti
itu dan adakah catatan resminya?
Kalau tidak kita temukan orang yang mencatat, maka
tentu tidak akan ada catatannya. Kalau tidak ada pencatat dan catatannya,
jangan-jangan kita hanya mengaku punya pemerintahan. Bukan republik mimpi kan?
Kita mencoba masuk pada era pemerintahan darurat.
Menurut beberapa sumber, pemerintahan darurat tersebut berlangsung pada 19
Desember 1948 sampai dengan 13 Juli 1949. Presiden Sukarno saat itu memberikan mandat kepada Sjafruddin Prawiranegara
untuk membentuk pemerintahan darurat. Presiden Sukarno sendiri ditangkap oleh
Belanda beserta wakilnya pada Agresi Militer Belanda babak kedua. Dengan adanya
PDRI, akhirnya Belanda mau berunding kembali dengan Indonesia.
Secara sah dan tercatat PDRI dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara. Dengan kata lain,
pada masa itu ada dan berlangsung pemerintahan yang sah yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara. Jika pemerintahan jenis ini
dianulir, maka pada saat itu dapat dibilang tidak ada pemerintahan, republik bubar. Namun jika sebaliknya dianggap
ada dan berlangsung jalannya pemerintahan (walaupun darurat), maka Sjafruddin Prawiranegara adalah presiden sah
Republik Indonesia.
Kondisi debat tentang status Sjafruddin Prawiranegara sebagai presiden atau bukan, pasti
menunjuk pada setuju dan tidak setuju. Setujunya mengapa? Tidak setujunya
mengapa? Dan secara mendasar, mengapa diperdebatkan? Apa untungnya bagi yang
tidak setuju? Apakah ada latar belakang dari Sjafruddin Prawiranegara yang
tidak diterima oleh sebagian orang? Apakah dengan ketidaksetujuan mereka
kemudian Indonesia menjadi negara makmur dan adil? Hayo, apa?
Apakah jika ada salah satu presiden Republik Indonesia
yang kemudian terbukti komunis, sejarahnya pernah menjadi presiden akan dicabut dan dihapus? Tidak masuk akal sekali sejarah ditulis dengan dasar sentimen apalagi
dikarang oleh penguasa yang berlangsung.
Sjafruddin Prawiranegara tercatat terlibat
pemberontakan PRRI tahun 1958. Siapa yang mencatat? Apakah mencatatnya dengan
kejernihan kesejarahan? Atau pencatat yang mudah baper? Apakah si pencatat murni tidak memiliki kebencian politik? Mengapa
kemudian disebut pemberontakan? Bukankah pemberontakan terjadi karena terjadi pengkhianatan
terhadap kesepakatan? Kemudian siapa yang sebenarnya berontak? Bukankah ada
celah, ada peluang bahwa yang dianggap pahlawan juga sebenarnya penjahat?
Yang mendasar dari catatan sejarah sebenarnya
obyektifitas, keaslian, dan apa adanya. Bukan bentuk karya seperti fungsi
filter foto pada kamera hape. Orang aslinya jelek, tapi ketika difoto seperti
bidadari. Catatan sejarah bukan jenis karangan fiksi yang mudah
menjungkirbalikkan tokoh dan alur ceritanya.
Catatan sejarah harus ditulis berdasarkan mata, telinga, dan tangan. Otak dan
hati, tidak boleh memberi warna.
Kasihan sekali keturunan Sjafruddin Prawiranegara.
Sepanjang hayat pemerintahan, sejarahnya
hanya menjadi hantu bagi negara dan bangsa. Pendahulu mereka berjuang untuk
kemerdekaan, kemudian diragukan antara dimasukkan ke daftar pahlawan atau
penjahat. Mengapa stereotipe pandangan manusia belum juga berubah. Selalu
menganut 'Nila setitik rusak susu sebelanga.' Kebaikan orang jadi hilang baiknya karena sekali terpeleset. Seluruh kebaikannya kemudian bernilai buruk.
Saran saya, jika belum ada titik temu, tentang status Sjafruddin Prawiranegara apakah ia presiden atau bukan kala itu, sidangkan
saja. Bukankah banyak meja yang bisa menghasilkan keadilan? Kalau masih ada
keadilan sih! Iya, meja hijaukan saja. Ambil keputusan. Atau voting kebangsaan.
Bukankah demokrasi yang kita anut adalah suara terbanyak dan suara media
sosial? Bereskan!
Sjafruddin Prawiranegara mungkin sudah cukup memperoleh gelar sebagai negarawan, pahlawan, ekonom,
tapi saya kira layak memenuhi cita-citanya waktu kecil: Ingin menjadi orang
besar. Kesukaannya membaca buku cerita Robinson Crusoe, itu karena ia ingin
menjadi orang besar. Orang besar di Indonesia adalah presiden. Menurut saya
layak dan sah saja mendapatkan gelar presiden walaupun raganya sudah berkalang
tanah. Ia memang presiden pada masa pemerintahan darurat.
Sjafruddin Prawiranegara mempunyai banyak jejak bersejarah. Ia pernah menjabat sebagai perdana
menteri, menteri keuangan, menteri kemakmuran, gubernur bank, da’i, dan
sebagainya. Gunting Sjafruddin adalah peristiwa tentang pemotongan uang menjadi
dua bagian. Bagian kiri untuk transaksi dan kanan untuk obligasi. Hal itu
dilakukan untuk menyelamatkan keuangan negara yang defisit waktu itu. Peristiwa
tersebut menjadi jejak sejarah ekonomi Indonesia. Sjafruddin Prawiranegara
sebagai anggota KNIP, turut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Ia
memang benar-benar orang besar!
Melalui esai ini, saya ingin Sjafruddin
Prawiranegara ditetapkan statusnya sebagai
Presiden Republik Indonesia setelah Sukarno. Saya tidak punya hubungan darah
dengan Sjafruddin Prawiranegara, tapi PDRI adalah bentuk pemerintahan. PDRI bukan jenis paguyuban,
kelompok tani, atau panitia hajatan. PDRI adalah gelar pemerintahan
nasional—yang jika tidak ada PDRI, tidak ada Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) saat ini. jangan tutup mata, telinga, apalagi tutup buku. Buka lembaran
baru, setidaknya itulah yang bisa diberikan bangsa ini kepada Sjafruddin
Prawiranegara yang sangat berjasa atas terbentuknya
republik ini, bukan republik mimpi.
Akhiri setuju dan tidak setuju
karena bukan soal pendapat, tapi atas dasar sejarah yang tercatat dan jasa yang
telah dibuat. Bukan hal masuk akal atau tidak, tetap berdasarkan bukti catatan
sejarah. Titik! Mau apalagi? Menelaah hukum? Bukannya hukum itu berduri? Cukup
kembali ke fakta sejarah. Begitu saja kok repot! Namun pembuat sejarah telah
memasukkan Sjafruddin Prawiranegara dalam sebutan Kabinet Darurat. Hal tersebut ditulis dalam buku Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan (PKN) kelas XII Sekolah Menengah Atas, terbitan Puskurbuk,
tahun 2018. Artinya Sjafruddin Prawiranegara tidak bisa berstatus presiden, hanya sebagai pembantu presiden.
Sebagai orang besar, yang saat
ini masih dalam perdebatan mengenai status presidennya pada masa PDRI, sebelum
wafat pada 15 Februari 1989, pada umur 77 tahun ia berucap: "Saya ingin mati di dalam Islam. Dan
ingin menyadarkan bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah
kepada Allah.” Benar, dan hanya orang besar yang takut kepada Pencipta manusia.
Ucapan tersebut bisa menjadi sindiran bagi pencatat sejarah yang baperan
sehingga bisa dimaknai: “Hati-hati penguasa dan pencatat sejarah, tuliskan apa
adanya. Jangan takut! Jika engkau takut, maka engkau telah menyimpan bom waktu
yang dapat menghancurkan negara dan bangsamu!”
0 Komentar